KONSEP CIVIC FRIENDSHIP MENURUT ARISTOTELES SUATU TELAAH ETIS - TEOLOGIS
Main Author: | ISWANTO |
---|---|
Other Authors: | WAHYU SATRIA WIBOWO, |
Format: | Bachelors |
Terbitan: |
SInTA - Unit Perpustakaan Universitas Kristen Duta Wacana (UKDW) Yogyakarta
, 2008
|
Subjects: |
Daftar Isi:
- BAB IPENDAHULUANA.Latar Belakang MasalahSetiap bangsa multi-etnis, termasuk Indonesia, berpotensi menghadapi masalah perbedaan, persaingan, dan tidak jarang pertikaian antar etnis. Karena itu etnis merupakan fenomena biologis yang berdampak kultural, sosial, ekonomi, dan politik. Walaupun fenomena etnis secara internal bisa berfungsi integratif, secara eksternal berpotensi konflik. Dalam perjalanan sejarah bangsa Indonesia tak jarang pertikaian antar etnis yang terjadi mewarnai kehidupan berbangsa dan bernegara. Hal tersebut diperparah dengan realitas sosio-historis bangsa Indonesia. Kebijakan kolonial Belanda jelas-jelas tidak menyediakan ruang apalagi mendorong tumbuhnya situasi kondusif bagi kehidupan bernegara multi-etnis, misalnya terbentuknya asosiasi-asosiasi sukarela, terbangunnya sikap mental dan budaya pluralisme yang menerima perbedaan, serta mekanisme transaksi sosial yang bersifat lintas kultural. 1Masalah Cina adalah pergumulan klasik yang setidaknya menggambarkan bagaimana hubungan antar etnis yang diwarnai pergesekan terjadi. Wujud dari Masalah Cina tersebut adalah seringnya orang Indonesia beretnis Tionghoa menjadi target kerusuhan sosial di Indonesia sepanjang sejarah perjumpaan keduanya; boleh dikatakan bahwa setiap ada kerusuhan sosial di Indonesia, maka orang Indonesia Tionghoalah yang senantiasa menjadi target. Atdi Susanto dengan analisa budayanya memberi penjelasan bahwa kerusuhan yang bernuansa etnis disebabkan karena adanya perbedaan tatanan budaya antar kelompok etnis. 2 Dalam kesimpulannya Atdi Susanto mengemukakan bahwa:1 2Eka Darmaputera, Civil Society: Apakah Kita Sedang Ke Sana dalam Penuntun Vol. 5 No. 17, 2000, halaman 4. Secara khusus analisa ini adalah berdasar pada hubungan antara etnis Tionghoa dengan etnis Jawa. Dimana dalam tatanan masyarakat jawa tidak ada tempat bagi mereka karena mereka ini pedagang. Dalam struktur masyarakat perdagangan atau bisnis menempati posisi tangga bawah kehidupan,golongan pedagang dalam kacamata petani juga dapat bersifat eksploitatif sehingga dipandang sebagai golongan yang mengganggu keharmonisan tatanan sosial. Perdagangan adalah suatu kegiatan yang memalukan bagi orang Jawa. Sehingga orang yang menggeluti perdagangan sebagai sarana hidup dianggap sebagai kelompok orang yang tak tak tahu malu. Atdi Susanto (LiemHubungan antara orang Indonesia Tionghoa dan orang Indonesia lainnya adalah laksana api dalam sekam yang sewaktu-waktu dapat berkobar kalau ada yang mengipasinya, seperti yang telah terjadi dalam sejarah. Dan tentunya tidak ada orang yang berani menjamin bahwa di masa yang akan datang kobaran-kobaran tersebut tidak akan terjadi lagi. 3Hal senada ditegaskan oleh Haryatmoko yang menyoroti bukan saja hanya hubungan antara etnis Tionghoa dan Jawa melainkan hubungan antar kelompok etnis dan agama di Indonesia. Di mana hubungan antar kelompok etnis dan agama menyimpan bara yang cukup berbahaya, sewaktuwaktu bisa digunakan untuk kepentingan politik dan ekonomi kelompok tertentu. 4 Maka perlu upaya yang benar-benar serius dan sistematis guna mengantisipasi hal-hal yang tidak diinginkan berkaitan dengan hubungan antar kelompok etnis maupun agama. Dalam konteks sekarang itu berarti memberi peluang yang lebih besar pembicaraan mengenai etnisitas. 5 Perbedaan nilai antarkelompok etnis maupun agama haruslah dijembatani.Usaha untuk memahami perbedaan menjadi begitu penting dan merupakan suatu keharusan. Hal tersebut berhubungan dengan dampak dari globalisasi yang menghasilkan kemajemukan, dimana kita menyadari bahwa hidup sebagai suatu bangsa di tengah bangsa-bangsa lain. Tetapi kemajemukan tersebut juga berdampak intern. Sebagai bangsa kita menyadari bahwa keberadaan kita sebagai wujud-wujud yang majemuk. 6 Dalam keadaan yang seperti itu maka ada kemungkinan dari beberapa etnis/kelompok untuk menjaga identitas etnis/kelompok sebagai suatu terminal identity. Salah satu masalah yang dihadapi gereja-gereja di Indonesia antara lain masalah yang juga berkaitan dengan identitas. Secara historis banyak dari gereja-gereja (protestan) merupakan gereja-gereja suku dan menjadi persoalan adalah ketika gereja-gereja di Indonesia melihat dan memahami legitimasi kehadirannya di bawah terang Pancasila. Malah Pancasila telah menjadi asas gereja-gereja dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa danTiong Liat), Makna Menjadi Orang Indonesia Cina di Indonesia: Refleksi Teologis Atas Identitas (Keberadaan) Orang Indonesia Cina Di Indonesia, Tesis Program Pasca Sarjana Fakultas Teologi Universitas Kristen Duta Wacana, Yogyakarta, 2002. Ketiadaan tempat dalam tatanan masyarakat bagi kelompok pedagang tersebut maka dengan sendirinya golongan tersebut dapat ditransformasikan sebagai setan atau iblis. Di Indonesia, misalnya, golongan seperti minoritas Tionghoa, arab, kauman, ataupun para haji adalah tipologi dari iblis atau setan lihat Ong Hok Ham, Dari Soal Priyayi Sampai Nyi Blorong:Refleksi Historis Nusantara, Jakarta: Penerbit Buku Kompas, Oktober 2002, halaman 46. 3 Atdi Susanto, Makna Menjadi Orang Indonesia Cina di Indonesia, halaman 118. 4 Haryatmoko, Etika Politik dan Kekuasaan, Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2003, halaman 54. 5 Emanuel Gerrit Singgih, Etnisitas, Kebangsaan, dan Gereja: Pergumulan Kristen di Indonesia pada Awal Abad ke-21 dalam Mengantisipasi Masa Depan, Jakarta: BPK, 2004, halaman 156. 6 Emanuel Gerrit Singgih, Etnisitas, Kebangsaan, dan Gereja: Pergumulan Kristen di Indonesia pada Awal Abad ke-21 , halaman 127.bernegara. Problem identitas tersebut muncul karena idelogi negara ini pertama-tama bersifat menyatukan keanekaragaman yang begitu kompleks di negeri ini. 7 Menghadapi globalisasi dimana kemajemukan hadir secara jelas bukan tidak mungkin identitas etnis dari gereja suku mengkristal kearah identitas terminal, karena itu jika perbedaan-perbedan tersebut tidak coba dipahami maka akan mahal juga harga yang harus dibayar. Apa yang dapat menjadi dasar hubungan antar etnis (di dalamnya termasuk antar kelompok dalam satu agama ataupun dari agama lain), yang notabene adalah sesama warga negara, agar bisa hidup dalam harmoni ditengah kemajemukan. Hal inilah yang menjadi masalah yang melatar belakangi pembahasan dalam skripsi ini.7Martin Lukito Sinaga, Identitas Poskolonial Gereja Suku dalam Masyarakat Sipil, Yogyakarta: LkiS, 2004, halaman 99.