RANCANGAN PEMBINAAN BAGI REMAJA DAN PEMUDA GKJ KOTAGEDE SEBAGAI ANTISIPASI PERUBAHAN KEBIASAAN KOMUNAL
Main Author: | KRISTI |
---|---|
Other Authors: | DJAKA SOETAPA, |
Format: | Bachelors |
Terbitan: |
SInTA - Unit Perpustakaan Universitas Kristen Duta Wacana (UKDW) Yogyakarta
, 2006
|
Subjects: |
Daftar Isi:
- ABSTRAKSIKeberlangsungan hidup seseorang atau suatu organisasi dan institusi tidak dapat tidak bergantung pada bagaimana seseorang atau suatu organisasi dan institusi tertentu itu memposisikan diri pada lingkungan sekitar tempatnya berada. Ernst Cassirer menunjukan lebih tajam bahwaDemi seluruh kebutuhan langsung dan kepentingan-kepentingan praktis, manusia tergantung pada lingkungan fisiknya. Ia tak dapat hidup, kalau tidak menyesuaikan diri dengan kondisi-kondisi dunia sekitarnya1.Segala pergerakan yang terjadi di lingkungan tersebut, langsung atau tidak langsung, akan berpengaruh terhadap orang, organisasi, atau institusi tadi. Supaya seseorang atau suatu organisasi dan institusi dapat terus bertahan hidup di lingkungan tempatnya berada maka institusi tersebut harus terus mengikuti dan menyesuaikan diri dengan perkembangan yang terjadi di lingkungan tersebut. Demikian juga halnya dengan sebuah institusi gereja, supaya dapat senantiasa ada, berfungsi dan diterima oleh masyarakat harus bisa mengikuti perkembangan yang terjadi dalam masyarakat tempat gereja itu berada. Penyesuaian itu perlu tidak saja untuk keberlangsungan hidup seseorang atau suatu organisasi dan institusi tetapi juga agar hidup seseorang atau suatu organisasi dan institusi juga berguna bagi lingkungannya. Sebab jika tidak demikian, menurut John Stott maka hidup seseorang atau suatu organisasi dan institusi itu berarti ia tak mampu lagi bersambung rasa dengan masyarakat, dan tambah parah lagi, bahwa ia tak dapat berbuat apa-apa untuk mengatasinya 2. Persoalannya, situasi dan masyarakat atau lebih tepatnya kebudayaan selalu berubah. Dengan demikian, seseorang atau organisasi dan institusi harus terus menerus memperbaharui aktualisasinya dengan menyesuaikan perubahan tersebut. Karena jika tidak berlaku demikian seseorang atau organisasi dan institusi akan menjadi terasing atau teralienasi. Seperti juga situasi dan masyarakat pada umumnya, kehidupan masyarakat Jawa, cepat atau lambat pasti juga mengalami perubahan. Dahulu gambaran yang umum terhadap masyarakat Jawa dikemukakan oleh Clifford Geertz sebagai susunan masyarakat yang terdiri atas tiga lapisan, yaitu abangan, santri, dan priyayi3. Kemudian pandangan ini mulai diragukan, salah satu sebabnya adalah kategori yang digunakan untuk membagi menjadi tiga lapisan tersebut tidak sama. Pada waktuwaktu berikutnya terdapat pula berbagai penelitian mengenai masyarakat Jawa. Setiap penelitian itu menunjukkan adanya perubahan dalam masyarakat Jawa, baik dalam susunan kemasyarakatan, gaya hidup, atau pelaksanaan ritual. Koentjaraningrat menggambarkan bahwa masyarakat Jawa terbagi menjadi dua, yaitu orang desa dan orang kota, namun dari segi religius tidak terlalu berbeda. Perubahan yang terjadi seiring perkembangan zaman adalah semakin berdikarinya seorang anak dan pergeseran orientasi orang Jawa.4 Romo Franz Magnis-Suseno menyatakan kesulitannya untuk menggambarkan orang Jawa yang sesungguhnya sehingga yang digambarkan dalam hasil penelitiannya adalah sebuah rekonstruksi teoritisnya atas orang Jawa5. Niels Mulder yang melakukan penelitian di Yogyakarta selama tiga windu melihat gambaran perubahan yang sangat besar dalam pola hidup masyarakat Jawa6. Penelitian terbaru atas masyarakat Jawa dilakukan oleh Stephen C. Headley yang menuliskan hasil penelitiannya dalam buku Durgas Mosque; Cosmology, Conversion and Community in Central Javanese Islam. Durgas Mosque merupakan hasil penelitian yang melaporkan kehidupan masyarakat Jawa, khususnya Kaliasa dan Surakarta, Jawa Tengah. Penelitian ini dilakukan antara tahun 1974 sampai dengan setelah masa reformasi. Menurut Romo Franz Magnis-Suseno, penelitian ini akan menjadi tonggak dalam menuju pemahaman baru atas masyarakat Jawa dan perlu diperhitungkan dalam mempelajari budaya Jawa7. Gereja, dalam hal ini Gereja Kristen Jawa (GKJ), sebagai sebuah institusi yang hidup di tengah masyarakat Jawa, tidak bisa melepaskan diri dari gambaran yang terus menerus berubah atas masyarakat tempatnya berada dan memerlukannya. Artinya, bila gambaran atas masyarakat berubah, dalam hal ini masyarakat Jawa seperti yang terurai di atas, maka Gereja Kristen Jawa harus menyesuaikan diri dengan dan mengelola perubahan itu.Dengan bersikap demikian diharapkan Gereja Kristen Jawa tidak teralienasi dan justru bisa ikut berpartisipasi dalam perkembangan lebih lanjut dari masyarakat. Di pihak lain, seseorang atau suatu institusi berada dalam hubungan yang dialektis dengan masyarakat tempatnya berada. Hal ini berarti seseorang atau suatu institusi tidak semata-mata tergantung pada masyarakatnya, tetapi juga memiliki kekuatan untuk merubah masyarakat itu. Bahkan C. G. Jung menunjukkan dengan sebuah pertanyaan keras Dan akhirnya apakah individu mengetahui bahwa dialah yang merupakan faktor yang menentukan arah nasib dunia?8 Jadi, selain harus menyesuaikan diri dengan perubahan yang terjadi dalam masyarakat, seseorang atau institusi memiliki kemampuan untuk mempengaruhi masyarakat. Dalam masyarakat Jawa, hal ini tampak dalam pemahaman mengenai manusia sebagai jagad cilik. Dalam pemahaman ini, selain menjadi bagian dari alam semesta (jagat gedhe), manusia dianggap sebagai sebuah dunia tersendiri yang memiliki kemampuan dan kebebasan untuk, dalam batas-batas tertentu, menata dirinya sendiri.9