ADOPSI DAN MASALAH PERBEDAAN AGAMA (PENELITIAN DI YAYASAN SAYAP IBU YOGYAKARTA)

Main Author: ASTRID EVA DEVI MAYASARI SEMBIRING
Other Authors: KESS DE JONG,
Format: Bachelors
Terbitan: SInTA - Unit Perpustakaan Universitas Kristen Duta Wacana (UKDW) Yogyakarta , 2009
Subjects:
Daftar Isi:
  • ABSTRAKSIKata anak dalam benak penyusun adalah sebuah kata yang unik dan simple, terdiri dari empat huruf, dua vokal dan dua konsonan. Kata yang pendek dan singkat. Anak adalah manusia yang kecil dan sederhana. Anak adalah buah cinta kasih sayang dari pasangan suami istri dalam ikatan pernikahan yang sah pada keluarga. Pada hakekatnya anak adalah suci, murni, polos dan bersih. Anak seperti selembar kertas putih yang masih kosong, belum ada tulisan atau noda di dalamnya. Anak masih lugu dan naif. Alkitab dalam Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru, menuliskan adanya kata anak untuk pertama kalinya khususnya dalam kitab Kejadian 1 : 28 yaitu : Allah memberkati mereka,lalu Allah berfirman kepada mereka : Beranakcuculah. Kata anak disebutkan untuk pertamakalinya juga pada Injil Matius 1 : 1 yaitu : Inilah silsilah Yesus Kristus, anak Daud, anak Abraham. Menurut pendapat penyusun, dengan dituliskannya kata anak dalam kedua kitab tersebut, maknanya adalah bahwa Allah menghormati harkat dan martabat anak sebagai manusia ciptaan-Nya yang dijadikan menurut gambar dan rupa Allah dengan kuasa firman / sabda / perkataan yang keluar dari Allah sendiri. Allah menghargai dan mengakui hakekat dan eksistensi anak sebagaimana adanya. Tuhan Yesus yang maha besar dan tinggi pun sebelum beranjak menjadi besar dan dewasa berasal dari seorang bayi yang kecil dan lemah, berawal dan tumbuh dari seorang anak. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, anak adalah keturunan yang kedua, manusia yang masih kecil.1 Dari definisi tersebut menurut penyusun, anak adalah manusia makhluk mulia ciptaan Tuhan Yang Maha Esa, hanya saja memiliki ukuran tubuh lebih kecil jika dibandingkan dengan orang dewasa emosi yang masih labil daripada manusia dewasa. Tetapi meskipun demikian, anak adalah generasi penerus dan calon pemimpin di masa depan. Negara Kesatuan Republik Indonesia menjamin kesejahteraan tiap-tiap warga negaranya, termasuk perlindungan terhadap hak anak yang merupakan hak asasi manusia. Adapun sebagai dasarnya adalah dengan mengingat : Pasal 20, Pasal 20 A ayat (1), Pasal 21, Pasal 28 B ayat (2), dan Pasal 34 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945).2 Anak adalah amanah sekaligus karunia Tuhan Yang Maha Esa, yang senantiasa harus kita jaga karena dalam dirinya melekat harkat, martabat, dan hak-hak sebagai manusiaTim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, ed. 3 cet. 1., Jakarta, Balai Pustaka, 2001, p. 41. 2 Pustaka Yustisia, Kumpulan Perundangan Perlindungan Hak Asasi Anak, Yogyakarta, PT. Buku Kita, 2006, p. 70.1seutuhnya yang harus dijunjung tinggi. Anak adalah tunas, potensi, dan generasi muda penerus cita-cita perjuangan bangsa, memiliki peran strategis dan mempunyai ciri dan sifat khusus yang menjamin kelangsungan eksistensi bangsa dan negara pada masa depan. Agar setiap anak kelak mampu memikul tanggung jawab tersebut, maka ia perlu mendapat kesempatan yang seluas-luasnya untuk tumbuh dan berkembang secara optimal, baik fisik, mental maupun sosial, dan berakhlak mulia, perlu dilakukan upaya perlindungan serta untuk mewujudkan kesejahteraan anak dengan memberikan jaminan terhadap pemenuhan hakhaknya serta adanya perlakuan tanpa diskriminasi. Untuk mewujudkan perlindungan dan kesejahteraan anak diperlukan dukungan kelembagaan dan peraturan perundang-undangan yang dapat menjamin pelaksanaannya. Berbagai undang-undang hanya mengatur hal-hal tertentu mengenai anak dan secara khusus belum mengatur keseluruhan aspek yang berkaitan dengan perlindungan anak. Berdasarkan pertimbangan tersebut di atas maka perlu ditetapkan Undang- Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (yang selanjutnya disingkat dengan UUPA dalam penulisan skripsi ini). Hak asasi anak merupakan bagian dari hak asasi manusia yang termuat dalam UUD 1945 dan Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hak-Hak Anak (yang selanjutnya disingkat dengan KHA dalam skripsi ini). Dari sisi kehidupan berbangsa dan bernegara, anak adalah masa depan bangsa dan generasi penerus cita-cita bangsa, sehingga setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang, berpartisipasi serta berhak atas perlindungan dari tindak kekerasan dan diskriminasi serta hak sipil dan kebebasan. Meskipun Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia telah mencantumkan tentang hak anak, pelaksanaan kewajiban dan tanggung jawab orang tua, keluarga, masyarakat, pemerintah, dan negara untuk memberikan perlindungan pada anak masih memerlukan suatu undang-undang mengenai perlindungan anak sebagai landasan yuridis bagi pelaksanaan kewajiban dan tanggung jawab tersebut. Dengan demikian, pembentukan UUPA ini didasarkan pada pertimbangan bahwa perlindungan anak dalam segala aspeknya merupakan bagian dari kegiatan pembangunan nasional, khususnya akan memajukan kehidupan berbangsa dan bernegara. Orang tua, keluarga, dan masyarakat bertanggung jawab untuk menjaga dan memelihara hak asasi tersebut sesuai dengan kewajiban yang dibebankan oleh hukum. Demikian pula dalam rangka penyelenggaraan perlindungan anak, negara dan pemerintah bertanggung jawab menyediakan fasilitas dan aksesibilitas bagi anak, terutama dalam menjamin pertumbuhan dan perkembangannya secara optimal dan terarah.UUPA ini menegaskan bahwa pertanggungjawaban orang tua, keluarga, masyarakat, pemerintah dan negara merupakan rangkaian kegiatan yang dilaksanakan secara terusmenerus demi terlindunginya hak-hak anak. Rangkaian kegiatan tersebut harus berkelanjutan dan terarah guna menjamin pertumbuhan dan perkembangan anak, baik fisik, mental, spiritual maupun sosial. Tindakan ini dimaksudkan untuk mewujudkan kehidupan terbaik bagi anak yang diharapankan sebagai penerus bangsa yang potensial, tangguh, memiliki nasionalisme yang dijiwai oleh akhlak mulia dan nilai Pancasila, serta berkemauan keras menjaga kesatuan dan persatuan bangsa dan negara. Upaya perlindungan anak perlu dilaksanakan sedini mungkin, yakni sejak dari janin dalam kandungan sampai anak berumur 18 (delapan belas) tahun. Bertitik tolak dari konsepsi perlindungan anak yang utuh, menyeluruh, dan komprehensif, undang-undang ini meletakkan kewajiban memberikan perlindungan kepada anak berdasarkan asas-asas sebagai berikut : a) non diskriminasi ; b) kepentingan yang terbaik bagi anak ; c) hak untuk hidup, kelangsungan hidup, dan perkembangan ; dan d) penghargaan terhadap pendapat anak. Dalam melakukan pembinaan, pengembangan dan perlindungan anak, perlu peran masyarakat, baik melalui lembaga perlindungan anak, lembaga keagamaan, lembaga swadaya masyarakat, organisasi sosial, dunia usaha, media massa, atau lembaga pendidikan. Memahami HAM (Hak-hak Azasi Manusia) harus dilihat dari nilai intrinsik dualitas HAM, yaitu HAM sebagai anugerah Allah dan HAM sebagai perjuangan / proyek historis manusia. Ketika kita berbicara tentang HAM, maka kita akan menemukan nilai / intrinsik dualitas di dalamnya. Di satu sisi, kita percaya bahwa HAM adalah anugerah penciptaan (Kej 1 : 26, 27). Yang dimaksud dengan anugerah (given) adalah nilai yang melekat dalam hidup manusia ketika ia diciptakan / lahir. Sebagai anugerah / kodrat (given) dalam penciptaan, maka presuposisi teologis ini mendorong kita untuk mengakui semua manusia, baik Kristen atau Islam, hitam atau putih, Yahudi atau Arab, cacat atau normal, laki-laki atau perempuan, orang tua atau bayi, dan sebagainya adalah sama mulia, berharga, bermartabat, dan seterusnya. Dari sudut pandang ini maka tidak ada satu pihak pun / otoritas manapun, baik dalam bentuk lembaga keluarga, gereja, masyarakat, adat atau bahkan negara yang dapat mengklaim sebagai sumber legitimasi HAM dan juga sebaliknya ada yang dapat mengambil / merampasnya dari manusia. Nilai intrinsik dalam penciptaan adalah HAM melekat dalam penciptaan itu sendiri.3Pdt. Novembri Choeldahono, Perjamuan Kudus bagi Warga Baptis Anak (Membangun Perjalanan Rohani dan Pengalaman Spiritualitas Anak-Anak, Perspektif Praktisi), GKJ Dagen Palur, Buku Pedoman Rapat Jemaat Tahun 2006, p. 3.3Dari perspektif ini, HAM adalah sebuah konsep egalitarian yang radikal, bahwa semua umat manusia memilikinya dan ini melampaui batas-batas geografis, agama, ras, suku, jenis kelamin, usia, dan sebagainya, serta tidak dapat dihapus atau dicabut oleh siapapun dengan cara apapun. Dari konsep ini seharusnya tidak ada pelarangan jenis kelamin, agama, rasial, dan diskriminasi lainnya untuk menentukan siapa yang boleh atau tidak boleh menjadi presiden, imam, pendeta, ulama, dosen, dan sebagainya. Mengapa? Karena nilai HAM adalah intrinsik (nilai yang dibawa / dimiliki secara natural) dalam diri manusia. Tidak ada satu pihak / otoritas pun (termasuk agama) yang boleh mengklaim sebagai pemberi atau pelenyap HAM tersebut. Ketika kita berbicara bahwa bukan orang lain, keluarga, gereja, masyarakat atau negara sebagai sumber / dasar legitimasi HAM, juga harus kita akui bahwa mereka memiliki kekuasaan (power) untuk memperkuat atau melenyapkan HAM. Maka nilai intrinsik dualitas HAM yang lain, selain anugerah (given) adalah bahwa HAM merupakan perjuangan sejarah, maka HAM juga merupakan sebuah proyek sejarah (historical struggle). Karena ia menjadi perjuangan sejarah, maka HAM juga merupakan sebuah proyek sejarah (historical project). Individu, keluarga, Gereja, agama, LSM, adat, dan negara, PBB, dan sebagainya, memiliki kekuatan dan kuasa untuk memperjuangkan, menegakkan, meningkatkan, dan menjaga HAM supaya nilai intrinsik pertama HAM sebagai anugerah (given) dapat berlaku. Namun di sisi lainnya lembaga-lembaga tersebut juga dapat melenyapkan HAM, merampasnya serta menginjak-nginjaknya, yang menyebabkan nilai intrinsik HAM sebagai anugerah (given) tidak berjalan / berlaku. Itulah sebabnya HAM harus terus-menerus diperjuangkan pada level yang berbeda-beda, yaitu dari wacana sampai pada legal-politis. Kita tidak bisa berhenti pada pengakuan bahwa HAM itu anugerah Tuhan dalam penciptaan, tetapi sekaligus juga harus memperjuangkannya supaya terwujud. Kita percaya bahwa perjuangan melawan penindasan, dominasi, kekerasan, dan sebagainya adalah perlu dan bermakna serta dapat dibenarkan. Oleh sebab itu HAM bukan hanya sebagai sikap pasrah menerima kodrat / anugerah tetapi juga menjadi perjuangan dan proyek sejarah (historical struggle and project). Ketika kita berjuang, termasuk melawan tradisi dan doktrin gereja / agama, adat, negara, dan sebagainya yang melenyapkan HAM, norma manakah yang harus kita utamakan? Apakah kita berpihak pada perjuangan agama kita, karena sekedar pertimbangan bahwa itu adalah agama dan kepercayaan kita? Jika tidak, mengapa kita terlibat? Dalam memperjuangkan HAM sebagai nilai intrinsik perjuangan / proyek sejarah, kita harus memiliki norma untuk kita tegakkan. Jawabnya adalah jelas, yaitu nilai intrinsik HAM itulahyang menjadi norma utama (Prima Norma), yaitu kemanusiaan yang segambar dengan Pencipta, yang melampaui batas-batas agama, ras, suku, bangsa dan jenis kelamin. Prima norma ini harus berjalan supaya perjuangan menegakkan HAM tidak berjalan sebaliknya tetapi menuju pada nilai intrinsik HAM sejati. Prima norma HAM ini harus menjadi dasar Gereja untuk melawan dan berjuang atas segala bentuk penindasan, dominasi, kekerasan terhadap manusia yang dilegitimasi oleh agama, ras, suku, bangsa atau seksual. Perjuangan / proyek historis HAM adalah sebuah proses untuk merevisi, mereinterpretasi serta merekontekstualisasi segala doktrin, kepercayaan maupun perilaku manusia yang hanya menghancurkan / melenyapkan prima norma HAM. Menurut BAB X A tentang Hak Asasi Manusia pada Pasal 28 B ayat 2 UUD 1945 yang menyatakan demikian : bahwa setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.4 Menyikapi hal itu, lalu bagaimana dengan realita bahwa masih adanya anak-anak yang tidak berdosa yang masih mengalami kesengsaraan dan penderitaan? Khususnya anak-anak yang terlantar? Anak-anak yang tidak mengenal siapa orang tuanya sejak lahir? Anak-anak yang kelahirannya tidak diharapkan oleh orang tuanya, lahir di luar pernikahan yang sah, anakanak yang tidak jelas asal-usul silsilahnya? Bagaimana menyikapinya jika ada kasus khusus yaitu orang tua yang memiliki niat hati yang tulus untuk mengangkat anak (adopsi) tetapi ada perbedaan agama antara orang tua angkat dengan anak adopsi? Bagaimana refleksi teologis melihat kasus ini sebagai sebuah bentuk keprihatinan iman? Berangkat dari pertanyaan keprihatinan tersebut di atas, maka penyusun memandang perlu melakukan penelitian yang berkaitan dengan tema dan permasalahan skripsi ini. Penyusun merasa tertarik untuk melakukan penelitian tentang pengangkatan anak (adopsi) pada Yayasan Sayap Ibu Cabang Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (selanjutnya disingkat dengan YSI DIY dalam penulisan skripsi ini). Adapun yang menjadi alasan penyusun untuk meneliti pada satu tempat yang tersebut adalah karena menurut pandangan penyusun, YSI DIY adalah badan yang sudah cukup senior dan profesional dalam bidangnya, yaitu dalam hal ini YSI DIY di bidang pelayanan sosial, yaitu memberikan perlindungan terhadap hak-hak anak, khususnya di Yogyakarta. Dari pembahasan tentang KHA dan UUPA serta penelitian terhadap kasus khusus yaitu adopsi dan adanya masalah perbedaan agama antara orang tua adopsi dengan anak adopsi di YSI DIY,4I. Widarta, Naskah Amandemen UUD 1945 Th. 2002-Dilengkapi : Piagam Jakarta dan Naskah Asli UUD 1945, Pustaka Kendi, Yogyakarta, 2003, p. 26.maka penyusun membuat refleksi teologis sebagai sebuah bentuk keprihatinan iman. Demikianlah yang menjadi latar belakang masalah skripsi dan keprihatinan penyusun terhadap masalah perlindungan anak, khususnya dalam hal masalah adopsi dan perbedaan agama tersebut.