RELEVANSI PENDIDIKAN HADAP MASALAH MENURUT PAULO FREIRE DALAM PELAKSANAAN PENDIDIKAN AGAMA KRISTEN DI GPIB
Main Author: | JENIFFER FRESY PORIELLY WOWOR |
---|---|
Other Authors: | HENDRI WIJAYATSIH, |
Format: | Bachelors |
Terbitan: |
SInTA - Unit Perpustakaan Universitas Kristen Duta Wacana (UKDW) Yogyakarta
, 2006
|
Subjects: |
Daftar Isi:
- 1BAB I PENDAHULUAN1. Latar Belakang PermasalahanPada saat ini, bangsa Indonesia dilanda dan masih berada di tengah-tengah krisis yang menyeluruh, krisis multidimensi. Kita dilanda oleh krisis politik, krisis ekonomi, krisis hukum, krisis kebudayaan, dan tidak dapat disangkal juga di dalam bidang pendidikan.1 Arif Rahman, seorang pakar pendidikan, (seperti yang apa yang telah dipaparkan oleh Dody Priatmoko) mengungkapkan bahwa saat ini dunia pendidikan Indonesia mengalami beberapa masalah yang perlu segera dibenahi. Salah satu masalah itu terkait dengan adanya ketidakserasian antara hasil pendidikan dan kebutuhan dunia kerja yang terkait dengan kurikulum yang materinya kurang fungsional terhadap keterampilan yang dibutuhkan ketika peserta didik memasuki dunia kerja. 2 Masalah lain yang juga dihadapi pendidikan nasional adalah rendahnya mutu pendidikan. Indikator rendahnya mutu pendidikan nasional dapat dilihat pada prestasi siswa. Anak-anak Indonesia ternyata hanya mampu menguasai 30% dari materi bacaan dan ternyata mereka sulit sekali menjawab soal-soal berbentuk uraian yang memerlukan penalaran. Hal ini disebabkan karena mereka sangat terbiasa "dicekoki" dengan hafalan dan mengerjakan soal pilihan ganda. 3 Tidak heran bila melalui sistem hafalan ini sistem pendidikan kita pun segera dilihat sebagai upaya indoktrinasi yang membelenggu siswa dan tidak lagi membebaskan. 4Masalah-masalah yang telah dikemukakan di atas merupakan beberapa masalah dari sekian banyak permasalahan dalam pendidikan di Indonesia. Walaupun begitu, permasalahanpermasalahan di atas nampaknya sudah cukup untuk menunjukkan bagaimana dunia pendidikan di Indonesia dilanda oleh permasalahan yang berat dan tidak lagi membebaskan. Dalam upaya untuk mencari jalan keluar dari permasalahan-permasalahan di atas, telah ada banyak hal yang telah dilakukan oleh para tokoh pendidikan di negara kita. Salah satu cara yang ditempuh adalah dengan menggunakan gagasan dari seorang tokoh pendidikan asal Brazil, Paulo Freire untukH.A.R. Tilaar, Paradigma Baru Pendidikan Nasional, PT Rineka Cipta, Jakarta, 2004, p.1. Dody Priatmoko, Reformasi Pendidikan Indonesia: Suatu Solusi Keluar dari Krisis, Lih. http://www.edents.bravepages.com/edents%20online%20baru/laput%20dody.htm. 3 Sda. 4 Bdk. Tony Widjastono, Wajah Stres Pendidikan Kita, Lih. http://www.kompas.co.id/kompascetak/0305/01/PendDN/285470.htm, edisi 1 Mei 2003.2 12 direlevansikan dengan konteks Indonesia. Contohnya adalah Sindhunata yang mengemukakan bahwa upaya untuk mengkritisi sistem pendidikan Indonesia dengan menggunakan gagasan Freire akan membantu kita untuk menyadari betapa pendidikan kita telah banyak menyeleweng dari tugasnya yang paling dasariah, yakni membantu anak didik menjadi manusia yang bebas dan merdeka. 5 Hal yang sama juga dilakukan oleh Paul Suparno, seorang pemerhati pendidikan yang mengemukakan bahwa dalam kaitan untuk mencari orientasi pendidikan yang lebih demokratis di Indonesia maka beberapa gagasan Freire memiliki relevansi yang dapat memberikan sumbangan yang berarti. 6Gagasan Paulo Freire juga dapat direlevansikan dengan konteks Indonesia terkait dengan salah satu tujuan dari pedagogy Freire yaitu agar para murid dapat bertindak sebagai subyek yang bertindak terhadap dan mengubah dunianya. 7 Keberadaan murid sebagai subyek ini diarahkan dalam upaya untuk menciptakan masyarakat demokratis. 8 Hal ini sesuai dengan konteks pendidikan di Indonesia yang memerlukan suatu pedagogik baru yaitu pedagogik pembebasan dalam rangka menuju kepada masyarakat yang demokratis. 9 Dengan demikian, konsep pendidikan Freire merupakan konsep pendidikan yang tidak merendahkan naradidik atau siapapun melainkan membangun harga diri naradidik. Selain itu, pemikiran Freire bertolak dari konteks kehidupan nyata yang merupakan jawaban pikiran yang kreatif dan hati nurani yang peka terhadap kemiskinan dan penderitaan yang luar biasa di lingkungannya. 10 Jadi pemikiran Freire tidak hanya melulu berbicara soal teori saja tetapi juga memiliki keterkaitan dengan kehidupan nyata. Hal ini membuat pemikiran Freire memiliki keunggulan tersendiri yaitu kemampuannya untuk berdiri diantara teori dan praktek.11Adanya upaya yang diberikan oleh para tokoh pendidikan di atas menunjukkan bagaimana permasalahan dalam bidang pendidikan di Indonesia penting untuk diperhatikan. Penyusun melihat bahwa hal ini patut mendapat perhatian dari seluruh masyarakat di Indonesia tidakSindhunata, Awas Pedagogi Hitam, Majalah BASIS No. 01-02 edisi: Paulo Freire, Yogyakarta, 2001, p. 3. Paul Suparno, Relevansi dan Reorientasi Pendidikan di Indonesia, Majalah BASIS No. 01-02 edisi: Paulo Freire, Yogyakarta, 2001, p. 24. 7 Richard Shaull, dalam kata pengantar untuk: Paulo Freire, Pendidikan Kaum Tertindas, LP3ES, Jakarta, 1985, p. 13. 8 Bdk., Paulo Freire, Pendidikan sebagai Praktek Pembebasan, Gramedia, Jakarta, 1984, p. 35. 9 Scn. 1, p 40. 10 P.P. van Lelyveld, dkk., Pendidikan yang Membebaskan, PPM & BKS.DGI-GMKI Cab. Yogyakarta, p. 1. 11 A. Sudiarja, Pendidikan Radikal Tapi Dialogal, Majalah BASIS No. 01-02 edisi: Paulo Freire, Yogyakarta, 2001, p. 13.653 terkecuali Gereja. Gereja sebagai alatNya di dunia ini diharapkan menjadi agen perubahan 12 ke arah yang lebih baik dalam masyarakat. Oleh karena itu, gereja diharapkan memiliki kepekaan terhadap konteks di sekelilingnya. Jika gereja ingin menjadi agen perubahan dalam konteks Indonesia yang bermasalah dalam pendidikan yang tidak lagi membebaskan maka gereja minimal harus memperjuangkan atau bahkan mengupayakan pendidikan yang membebaskan. Pendidikan yang membebaskan ini dapat dimulai dari dalam gereja sendiri. Hal ini salah satunya dapat dilakukan melalui pendidikan agama Kristen (PAK) yang dilaksanakan oleh gereja. Dengan PAK yang membebaskan maka gereja dapat menunjukkan ke-tidaksetujuan-nya terhadap bentuk pendidikan yang tidak membebaskan. Hal ini diharapkan dapat memberikan pengaruh yang positif di tengah-tengah masyarakat sebagai salah satu usaha gereja untuk menjalankan tugasnya dalam rangka mewujudkan dan menghadirkan tanda-tanda kerajaan Allah.Namun pertanyaannya di sini adalah apakah gereja telah melaksanakan pendidikan yang membebaskan 13 dalam PAK ? Martin Lukito Sinaga mengemukakan bahwa secara umum, gereja belum mampu menjadi kekuatan moral yang nyata dalam menghadirkan pembebasan di Indonesia. Ini terbukti ketika masalah-masalah dalam masyarakat seperti penindasan dan masalah yang terkait dengan kepelbagaian status sosial dalam masyarakat (eksploitasi terhadap mereka yang miskin dan lemah) jarang dipermasalahkan. 14 Hal ini sesuai dengan apa yang dikemukakan oleh E. G. Singgih. Ia mengemukakan bahwa di dalam banyak gereja dan persekutuan Kristen, orang miskin dipinggirkan dan orang kaya yang menjadi pusat perhatian. Selain itu, dalam menghadapi kenyataan kepelbagaian di Indonesia, Kekristenan seringkali menerima kepelbagaian sebagai suatu kenyataan yang membahayakan. 15 Permasalahan ini ternyata dirasakan juga dalam pelayanan yang dilakukan oleh GPIB (Gereja Protestan di Indonesia bagian Barat). E. G. Singgih mengatakan bahwa pelayanan GPIB selama ini seringkali menjadi terbatas pada hal rohani atau spiritual saja, sedangkan pelayanan sosial cenderung diabaikan. 16 Hal ini dapat terkait dengan sifat GPIB yang memang sangat menekankanBernhard Keiser, Posisi dan Kehadiran Gereja di Tengah-Tengah Masyarakat, Jurnal Teologi GEMA No. 57 edisi: Pelayanan Gereja, Fakultas Teologi UKDW, Yogyakarta, 2001, p. 181. 13 Pendidikan yang membebaskan disini terkait dengan suatu proses pendidikan yang tidak menuntut dan menekan naradidik dimana pendidik dan siswa menjalankan proses pendidikan yang dialogis dan saling menghargai satu dengan yang lain di mana pendidik dan naradidik dapat bersama-sama belajar dan menumbuhkan kesadaran secara kritis terhadap konteks serta masalah aktual di sekitarnya (realita di hadapannya). 14 Bdk., Martin Lukito Sinaga, Gereja dan Masyarakat Indonesia (Sejumlah Persoalan Mendasar dalam Memasuki Abad XXI), Majalah SETIA No. 1, Jakarta, 2000, p. 110. 15 Bdk., E. G. Singgih, Iman & Politik dalam era Reformasi di Indonesia, BPK Gunung Mulia, Jakarta, 2002, p. 49. 16 E. G. Singgih, Mengantisipasi Masa Depan: Berteologi dalam Konteks di Awal Milenium III, BPK Gunung Mulia, 2004, p. 310.124 keberadaannya yang bersifat kelembagaan. Sebuah lembaga yang telah mantap biasanya mengutamakan pembinaan ke dalam, tidak keluar. 17 Selain itu, perhatian terhadap konteks Indonesia khususnya konteks pluralitas agama masih sedikit sekali dikaitkan dengan pemahaman iman GPIB. Yang banyak dibahas hanyalah pluralitas kebudayaan saja. 182. Permasalahan Penyusun melihat bahwa pemaparan di atas dapat mengindikasikan adanya suatu permasalahan dalam pelayanan gereja, khususnya GPIB. Permasalahan ini terkait dengan pelayanan GPIB yang cenderung mengabaikan konteks serta masalah-masalah aktual di sekelilingnya. Penyusun melihat bahwa permasalahan di atas memang belum sepenuhnya memberikan jawaban apakah pelaksanaan PAK di GPIB telah memperhatikan konteks dan masalah aktual di sekelilingnya atau tidak. Tetapi permasalahan ini dapat mengindikasikan suatu permasalahan penting yang terkait dengan keseluruhan pelayanan yang dilakukan oleh GPIB di mana PAK juga termasuk di dalamnya. Oleh karena itu, dapatlah dikatakan bahwa bisa jadi PAK yang selama ini dilaksanakan dalam GPIB juga memiliki keterkaitan dengan permasalahan ini. Oleh sebab itu, untuk memperjelas pembahasan mengenai pelaksanaan PAK di GPIB maka penyusun akan mencoba menganalisa dengan lebih mendalam mengenai realita pelaksanaan PAK di GPIB dalam bab berikutnya.Selain itu, terkait dengan pemaparan sebelumnya mengenai pemikiran Freire yang telah dipakai oleh beberapa ahli dalam rangka mengatasi permasalahan pendidikan di Indonesia, maka timbul pertanyaan: sejauh mana pemikiran Freire dapat diterapkan dalam pelaksanaan PAK di GPIB? Dalam rangka menjawab pertanyaan ini maka penyusun kemudian akan mencoba menganalisis pemikiran dari Freire. Namun, untuk memfokuskan pembahasan dan juga agar pembahasan tidak meluas, maka pemaparan mengenai pemikiran Paulo Freire akan difokuskan pada pemikirannya mengenai bentuk pendidikan hadap masalah dengan tetap mempertimbangkan aspek-aspek lain yang penting dalam pemikirannya. Hal ini disebabkan karena pendidikan hadap masalah merupakan suatu bentuk pendidikan yang membebaskan yang secara menyeluruh mengandung aspek-aspek penting dalam pemikiran Freire (misalnya: pendidikan yang dialogis) di mana di dalamnya ada proses penyingkapan realitas yang terus-menerus dengan tetap mempertimbangkan17 18Sda., p. 292. Scn. 17, p. 308.