KEDUDUKAN PENDETA DALAM PRAKTEK KEPEMIMPINAN DI GEREJA KRISTEN JAWI WETAN

Main Author: ERICK YOSEPH PENGARAPEN PRADANA DIONOPUT
Other Authors: BUDIYANTO,
Format: Bachelors
Terbitan: SInTA - Unit Perpustakaan Universitas Kristen Duta Wacana (UKDW) Yogyakarta , 2006
Subjects:
Daftar Isi:
  • ABSTRAKSISejarah awal berdirinya Greja Kristen Jawi Wetan atau GKJW adalah berasal dari proses pekabaran Injil yang dilakukan oleh Coenrad Laurens Coolen, Johannes Emde dan Paulus Tosari. Pertama adalah Coenrad Laurens Coolen, dimana ia membuka lahan baru di hutan Ngoro. Konon ia mendapat wahyu sebagai berikut : Ayah, di sebelah selatan terdapat sebidang hutan yang bagus, Ngoro namanya; hutan itu musti kau tebang. 1 Atas dasar petunjuk itu, Coolen mendatangi Wedana Wirosobo, menceritakan maksud kedatangannya dan meminta izin untuk membabat hutan Ngoro. Bersama-sama dengan para pembantunya, Coolen membuka hutan Ngoro itu dengan maksud untuk membuka lahan persawahan dan membentuk sebuah pedesaan baru. Dalam pedesaan yang agraris itu, mereka membentuk sebuah perkumpulan manusia atau dimulainya kehidupan bersama dalam suatu lingkungan kecil. Setelah menjadi sebuah pedesaan yang baru, akhirnya banyak orang-orang ingin menempati daerah tersebut, dikarenakan hasil sawahnya yang melimpah ruah. Dan Coolen dijadikan orang yang paling berpengaruh, dihormati dan paling kaya. Setelah itu, banyak lagi orang-orang berdatangan dan ingin membuka lahan baru lagi, sehingga terjadi sebuah perjanjian atau kontrak antara Coolen dengan orang-orang tersebut untuk mengatur pembagian hasil bumi. Awal pekabaran Injil bermula di desa Ngoro pada tahun 1835, dimana banyak orang berdatangan untuk mengerjakan tanah. Tetapi lebih dari itu, mereka mempunyai kemauan batin untuk mencari ketenangan hidup, dimana mereka terdiri dari perampok, penyamun, pencuri, pembunuh dan lain-lain. Coolen mempunyai inisiatif. Ia mengajak mereka untuk belajar sebuah Elmu. Pengikut-pengikutnya percaya kepada tuan Coolen karena tuan Coolen dianggap mempunyai Elmu Kristen yang hebat dan ia sangat mengusainya, yaitu dengan memperkenalkan 3 rapal yaitu pengandelan atau 12 Pengakuan Iman, Hukum Sepuluh dan Pujaan atau Doa Bapa Kami, sehingga Coolen mempunyai maksud bahwa dengan menerima ajaran atau elmu itu bisa memperbaiki sikap dan kelakuan manusia.2 Menurut Coolen, baptisan tidak perlu diterapkan kepada orang-orang itu, karena nantinya akan menganggap dirinya sejajar dengan orang-orang Belanda. Hal inilah yang mengakibatkan pengikut-pengikut Kristen menjadi patuh dan harus sesuai dengan apa yang dikatakan oleh sang guru. Dalam periode Coolen, warga Kristen disebut sebagai Kristen Jawa karena ia menganggap bahwa orang Jawa yang menjadi Kristen itu adalah sebagai orang-orang Kristen dan orang jawa itu harus tetap orang Jawa. Kristen Jawa adalah dimana mereka mempunyai sikap yang terlalu memusatkan diri pada guru ngelmunya dan guru ngelmunya terlalu bersifat melindungi bahkan memanjakan ( Protektif dan Paternalistik ).3 Kemudian yang kedua adalah Johannes Emde. Kedatangan Johannes Emde ke Indonesia adalah karena semata-mata ingin mengetahui apakah benar di Indonesia terdapat musim dingin.4 Selama di Indonesia, dia menetap di kota Surabaya dan bekerja sebagai tukang jam. Pekabaran Injil yang ia lakukan adalah dengan membentuk suatu kumpulan orang-orang Kristen yang bernama orang-orang saleh Surabaya yaitu Perkumpulan Pembantu Pekabaran Injil Surabaya . Emde mengadakan suatu baptisan. Banyak orang-orang Jawa yang menerima baptisan, sehingga mereka disebut sebagai Kristen Londo Dalam perkumpulannya tersebut, Emde mengajarkan sebuah ajaranajaran seperti Sepuluh Hukum Musa.5 Kesepuluh hukum Emde ini terbentuk karena kurangnya pengetahuan Emde mengenai baptisan, pengertian-pengertian Alkitab serta tidak dimilikinya pengertian tentang kebudayaan, terlebih mengenai kekristenan. Orangorang yang telah dibaptis itu, memahami bahwa baptisan harus meninggalkankebudayaan sendiri dan pindah ke kebudayaan barat. Dan ide tersebut merupakan cetusan orang-orang Kristen Eropa ( Emde dkk ), bahwa peradaban barat adalah Kristen dan peradaban Jawa adalah kafir. Dan pandangan Coolen pun tidak sama dengan Emde. Coolen tidak memasukkan unsur baptisan ke dalam ajarannya karena khawatir kalau orang-orang itu nantinya juga meninggalkan kejawaannya. Yang ketiga adalah Paulus Tosari dan Mojowarno. Desa Mojowarno didirikan oleh Ditotaruno. Ditotaruno adalah orang Ngoro yang ditolak oleh Coolen karena telah menerima baptisan. Ditotaruno, bersama-sama dengan beberapa orang, pergi ke arah utara dan sampailah di suatu hutan yaitu Kracil ( kira-kira 6 km dari Ngoro ). Dia lantas membuka hutan tersebut dan akhirnya terbentuk suatu pedesaan yang baru. Dan pada tahun 1847 dinamailah daerah itu Mojowarno. Pada bulan November 1848 terjadi suatu baptisan terhadap 31 orang dewasa dan 25 orang anak-anak. Dan baptisan itu terulang lagi pada bulan Desember 1848 dengan jumlah 56 orang. Melihat kejadian itu, maka tergeraklah Jellesma untuk menyaksikan bahwa peristiwa itu adalah kelahiran Gereja Kristus secara spontan di tengah-tengah orang Jawa. Dan penduduk di desa Mojowarno tersebut mempunyai minat untuk mengembangkan pertanian dan sekaligus sebagai jemaat Kristen, mereka mengadakan pelajaran agama, ibadah dan adanya sakramen, yang mereka pimpin sendiri. Terutama adalah Paulus Tosari yang memegang peranan penting dalam memajukan Mojowarno selaku desa Kristen. Paulus Tosari disebut sebagai pemimpin, penginjil, gembala dan guru jemaat.6 Melihat dari awal sejarah berdirinya GKJW di atas, maka GKJW adalah berangkat dari sebuah gereja atau persekutuan orang Kristen di pedesaan yang saling mendengungkan pola kehidupan bersama. Jemaat pedesaan lebih menganut paham paternalistik yang hierarkhis, dimana lebih mengandung pandangan bahwa tindakantindakan manusia itu sebaiknya diarahkan dan diorientasikan pada sikap atau kelakuan sang pemimpin, kepada tokoh-tokoh atasan.7 Dari latar belakang masyarakat yang berpikir hierarkhis paternalistik, ternyata GKJW tidak menempatkan pemimpin sebagai atasan. Hal itu juga nampak dalam tata dan pranata GKJW tentang 4 jabatan gerejawi. Jabatan itu adalah pendeta, penatua, diaken dan guru Injil. Jabatan gerejawi ini mempunyai tugas dan tanggung jawabnya masingmasing. Adapun tugas-tugasnya adalah: a. Pendeta, bertugas menjadi gembala, pemimpin dan pemuka gereja yang terutama dilakukan dengan jalan :8 - Meneladani, mendorong dan membimbing warga jemaat baik secara perorangan maupun secara bersama-sama agar menjadi makin dewasa dan mandiri. - Secara teratur mengunjungi warga jemaat di tempat kediaman atau tempat kerja masing-masing. - Memberikan perhatian kepada kehidupan berkeluarga warga Jemaat. - Memberikan perhatian khusus kepada waraga jemaat yang berduka, yang sedang berkabung, yang sedang sakit, yang terancam kekurangan sandang, pangan dan papan, dan yang ditahan atau dipenjara. - Mendampingi warga yang sedang menghadapi kesulitan di rumah tangga, dilingkungan masyarakat sekitar, atau di tempat kerja guna membantu mencari jalan keluar. - Menyimpan kerahasiaan yang menyangkut pribadi-pribadi warga Jemaat dengan sebijaksana mungkin. b. Tugas Penatua :9 - Menjadi teladan, pembimbing dan pendorong bagi warga Jemaat dalam pertumbuhan menuju kedewasaan iman dan hidup kristiani yang mencerminkan semangat untuk bersekutu, bersaksi dan melayani. - Melalui perkunjungan memperhatikan kesehjateraan jasmani maupun rohani warga Jemaat dan dalam rangka itu melaporkan kepada majelis Jemaat apabila ada warga yang perlu dibantusecara khusus. - Menjalankan pekerjaan-pekerjaan di bidang-bidang pembinaan teologi, persekutuan, kesaksian dan penatalayanan berdasarkan penugasan Majelis Jemaat. c. Tugas Diaken :10 - Memberikan perhatian dan pelayanan kepada sesama di lingkungan Jemaat maupun masyarakat sekitar yang menderita, antara lain : sakit atau cacat atau lemah jasmani maupun rohani, menjadi piatu, yatim atau yatim piatu, lanjut usia dengan tiada orang yang mengurusnya, terpenjara dan kemiskinan. - Mengusahakan atau menjalin kerjasama dengan lembaga-lembaga Kristen, lembaga-lembaga Pemerintah dan lembaga-lembaga masyarakat yang bergerak di bidang masalah-masalah sosial, ekonomi, bantuan hukum atau upaya-upaya hukum dan lain-lain. Tugas ini dilaksanakan atas keputusan Majelis Jemaat. - Mempelopori pelayanan cinta kasih yang tertuju kepada peningkatan taraf hidup dan kesehjateraan hidup warga Jemaat dan masyarakat sekitar. - Mengusahakan dan mengembangkan bentuk-bentuk baru bagi pelayanan cinta kasih Gereja di tengah masyarakat yang terus menerus berubah dan berkembang. d.Tugas Guru Injil :11 - Mengajarkan Alkitab serta mendidik warga Jemaat supaya hidup sesuai dengan yang diamanatkan oleh Alkitab. - Mengajarkan kepada warga Jemaat pokok-pokok pemahaman panggilan dan kepercayaan gereja dan mendidik mereka supaya berpikir, berperasaan, berbuat sejalan dengan pokok-pokok pemahaman itu. - Mengajarkan kepada warga Jemaat pokok-pokok pemahaman tentang Gereja dan misi gereja dan mendidik mereka supaya menjadi warga gereja yang baik dan bertanggung jawab. - Mengajarkan kepada warga Jemaat pokok-pokok pemahaman kristiani tentang masyarakat dan negara dan mendidik mereka supaya menjadi warga negara yang baik dan bertanggung jawab. Melihat dari tugas-tugas para pejabat gerejawi diatas, ternyata tugas-tugas pelayan di gereja tidak hanya dilakukan oleh pendeta saja. Dari struktur gerejanya, GKJW tidak menganut struktur yang hierarkhis, melainkan tentang Patunggilan Kang Nyawiji. Patunggilan Kang Nyawiji atau persekutuan yang tunggal adalah keseluruhan jemaat itu ( walaupun ada banyak sekali ) menjadi satu dalam persekutuan; jemaat yang banyak itu adalah bagian daripada yang satu itu ialah persekutuan itu juga.12 Di dalam patunggilan kang nyawiji tersebut juga terdapat suatu pengambilan keputusan. Proses pengambilan keputusannya adalah dalam suatu sidang yang dihadiri oleh anggota Majelis Jemaat, anggota Majelis Daerah dan anggota Majelis Agung sendiri. Mereka berbicara atau berkomunikasi satu sama lain dalam persidangan, saling menuangkan ide atau gagasannya masing-masing. Jadi sudah tentu percakapan-percakapan yang terjadi itu menuju pada usaha untuk mencapai keputusan akhir dan begitulah proses pengambilan keputusan yang ditetapkan dalam serat pranata ( Bab X ayat 5 ).13 Jadi proses pengambilan keputusan bukan dengan sistem piramidal atau Atas-bawah, melainkan secara melingkar atau berbentuk bulatan/menyeluruh, dimana setiap anggota jemaat, anggota Majelis Daerah dan anggota Majelis Agung ikut berpartisipasi di dalamnya.