"PENGARUH PEMBERIAN MARGA DALAM ADAT BATAK TOBA TERHADAP ORANG-ORANG NON BATAK TOBA&quot

Main Author: FABRIYAN IDA MARINA MARPAUNG
Other Authors: WAHYU SATRIA WIBOWO,
Format: Bachelors
Terbitan: SInTA - Unit Perpustakaan Universitas Kristen Duta Wacana (UKDW) Yogyakarta , 2007
Subjects:
Daftar Isi:
  • ABSTRAKSIOrang Batak Toba sebagai salah satu sub suku Batak memiliki perangkat struktur dan sistem sosial yang merupakan warisan dari nenek moyang. Struktur dan sistem sosial tersebut mengatur tata hubungan sesama anggota masyarakat, baik yang merupakan kerabat dekat, kerabat luas, saudara semarga maupun beda marga serta masyarakat umum. Status marga dalam kehidupan masyarakat Batak Toba memegang peranan yang sangat penting, alasannya yaitu: 1. Sebagai identitas, menunjukkan baik satuan-satuan yang lebih kecil (kelompok kecil) maupun yang lebih besar (marga induk), dan juga kelompok-kelompok yang paling besar (cabang marga). 2. Sebagai status, dalam hal ini berkaitan dengan sistem Dalihan Na Tolu (akan dijelaskan pada bab berikutnya). 3. Sebagai penerus marga, dalam hal ini lebih diutamakan adalah anak laki-laki, karena dalam adat Batak Toba masih menganut sistem patriarkhal. Secara umum masyarakat Batak Toba bersifat patriarkhal. Itu berarti marga yang menjadi identitas dari orang Batak Toba diturunkan dari pihak laki-laki/Ayah. Sebuah marga tidak akan terputus apabila sebuah keluarga mendapatkan anak laki-laki, karena anak laki-laki itulah yang akan meneruskan kembali marga tersebut kepada keturunannya, sehingga marga itu tetap bertahan. Sadar atau tidak, budaya patriarkhal tersebut telah mejadi bagian dalam diri seseorang dan ikut mempengaruhi pola pikir dan sikap seseorang. Pada sebagian orang, nilai-nilai dan sistem tradisional yang merupakan warisan leluhur mengendalikan sikap mereka. Dan seringkali budaya yang telah tertanam dalam diri seseorang akan sangat sulit untuk dilepaskan bahkan terus dilakukan dalam kehidupan manusia sehari-hari karena dianggap sebagai sesuatu yang baik. Tradisionalisme adalah suatu sikap dan pandangan yang memuja-muja, menjunjung tinggi lembaga-lembaga dan kepercayaan dan masa lampau. Kepercayaan dan kebiasaan lama dianggap benar, kekal dan tidak berubah, penduduk melakukan segala sesuatu sama seperti yang dilakukan sebelumnya.1 Tata kehidupan orang Batak Toba juga di atur di dalam sistem adat istiadat yang telah dimiliki sejak ratusan tahun dari nenek moyang. Aturan-aturan yang menjadi adat tersebut bermuatan sangsi bila dilanggar. Dalam keyakinan kosmologis orang Batak Toba, adat istiadat bersumber dari yang illahi (merupakan manifestasi tatanan illahi dalam kehidupan di dunia dan bersifat abadi). Adat dan hukum tidak mungkin diubah.2 Melawan atau melanggar adat akan mengakibatkan kekacauan dan kehancuran.3 Adat yang diturunkan, berasal dari nenek moyang, dimana dalam kehidupan orang Batak Toba nenek moyang dianggap sebagai Debata Mulajadi Na Bolon (Tuhan yang memulai segala sesuatu), karena di anggap terlebih dahulu memiliki dan menguasai bumi selayaknya Debata Mulajadi Na Bolon. Sehingga masyarakat Batak Toba sangat menghormati Adat yang dipercaya langsung diturunkan dari Debata Mulajadi Na Bolon (nenek moyang mereka). Menghormati nenek moyang mengandung makna menyembah Debata Mulajadi Na Bolon. Petuah-petuah nenek moyang terus dijalankan secara berkesinambungan generasi demi generasi. Pelanggaran terhadap adat, akan menyebabkan kemurkaan roh nenek moyang. Dengan perkataan lain, kesetiaan dan kecintaan kepada roh-roh nenek moyang orang Batak Toba merupakan perilaku religius. Itu pula sebabnya, masa kini dan masa depan harus senantiasa mendapat acuan dari masa lampau yaitu kehidupan nenek moyang.4 Dalam kebudayaan Batak Toba ada istilah yang dikenal dengan nama Dalihan Na Tolu (Tungku Nan Tiga). Dalihan Na Tolu dinilai sebagai suatu sistem dimana ada persyaratan fungsional yang harus dipenuhi dengan tujuan melakukan adaptasi, memelihara polakehidupan masyarakat dan mempertahankan kesatuan orang Batak Toba, disamping itu dengan adanya Dalihan Na Tolu ini diharapkan adanya keseimbangan. Hal ini terwujud dalam umpama: Somba Marhula-hula (hormat pada hula-hula), Manat mardongan sabutuha (berlaku hati-hati kepada saudara semarga), Elek Marboru (berlaku sayang kepada boru).5 Hal ini yang selanjutnya dimanifestasikan di dalam pola prilaku untuk mewujudkan Hamoraon (upaya mencari kekayaan), Hagabeon (banyak keturunan dan panjang umur), dan Hasangapon (kehormatan dan kemuliaan). Ada kecenderungan pada orang Batak Toba, sekalipun telah lebih kosmopolitan lebih dari satu setengah abad dan banyak berpindah ke kota meninggalkan kampung halamannya, sikap-sikap dasar maupun ideologi terhadap adat ternyata tidak berubah. Di kota tempat orang Batak Toba merantau, mereka membentuk sebuah asosiasi klan yaitu semacam perkumpulan orang-orang yang bermarga sama, dalam tradisi suku Batak, memang tidak identik dengan marga dalam pengertiannya yang asli. Tujuannya untuk mempertahankan dan melestarikan adat yang sudah mereka miliki. Tentunya dalam kehidupan perantauan kita tidak hanya bertemu dengan masyarakat yang berasal dari suku yang sama, tetapi kita bertemu dengan masyarakat lain dari suku dan ras yang berbeda. Jika dikaitkan dengan perkawinan maka ada hal-hal yang harus diperhatikan. Dalam kehidupan orang Batak Toba, kecenderungan untuk memilih pasangan suami atau pasangan istri yang berasal dari kalangan atau suku yang sama, adalah harapan setiap orang Batak Toba yang mau menikah. Dikarenakan bahwa pernikahan dalam adat Batak Toba bukan hanya menyatukan dua pribadi dalam satu ikatan tetapi juga menyatukan dua keluarga sekaligus. Sebagai contoh: apabila seorang pria Batak Toba yang bermarga Marpaung menikah dengan seorang wanita yang bermarga Silaban, maka bukan hanya pria Marpaung dan wanita Silaban saja yang memiliki ikatan tetapi seluruh keluarga besar, baik pihak keluarga Marpaung maupun pihak keluarga Silaban. Tujuannya adalah supaya masingmasing pihak mendapatkan posisi dalam sistem adat Dalihan Na Tolu (baik itu somba marhula-hula, manat mardongan tubu maupun elek marboru) sehingga Hamoraon, Hagabeon, dan Hasangapon dalam kehidupan mereka dapat terwujud. Inilah yang menjadi harapan setiap orang Batak Toba, meskipun ada alasan-alasan lain yang terlontar tapi hal yang paling utama adalah seperti yang sudah disebutkan di atas. Akan tetapi timbul permasalahan dimana ketika seorang Batak Toba, mendapatkan pasangan yang berasal dari luar suku Batak Toba. Yang akan terjadi selanjutnya adalah ketika seorang Batak Toba hendak menikah dengan pasangannya yang berasal dari luar Batak Toba6, terlebih dahulu pasangannya yang non Batak Toba diberikan marga melalui adat, supaya apa yang diharapkan dapat terwujud. Disamping itu pasangan yang non Batak tersebut akan mendapatkan pengakuan di dalam keluarga dan adat dan posisi dalam Dalihan Na Tolu. Jika tidak diberikan marga kepada pasangan yang non Batak tersebut, maka ia tidak akan diakui di dalam adat (meskipun di dalam keluarga di terima) dan juga tidak mendapatkan posisi. Pemberian marga dalam adat Batak Toba tentu saja tidak hanya pada saat pernikahan, melainkan ketika seseorang memiliki hubungan baik dengan teman atau sahabat, maka orang tersebut dapat dinaturalisasikan menjadi seseorang yang bermarga. Proses pemberian marga itu sendiri melewati upacara adat khusus dan hukumnya (orang yang diberikan marga) adalah sama kuat keanggotaannya berdasar pertalian darah. Akan tetapi dalam kenyataannya peristiwa tersebut diatas menimbulkan dampak yang cukup berpengaruh dalam kehidupan berelasi antara masyarakat Batak Toba dan orang non Batak Toba. Melalui topik pembahasan dalam skripsi ini, akan coba ditemukan permasalahan sesungguhnya, hubungan antara memberikan marga dalam adat Batak Toba dengan relasi antara masyarakat Batak Toba dan masyarakat non Batak Toba.