MENGKAJI KONSEP PEKABARAN INJIL GPIB DALAM KONTEKS MASYARAKAT INDONESIA UNTUK MEWUJUDKAN CIVIL SOCIETY
Main Author: | FRANKLYN MICHAEL |
---|---|
Other Authors: | BUDIYANTO, |
Format: | Bachelors |
Terbitan: |
SInTA - Unit Perpustakaan Universitas Kristen Duta Wacana (UKDW) Yogyakarta
, 2007
|
Subjects: |
Daftar Isi:
- ABSTRAKSIPekabaran Injil adalah tugas dan tanggung jawab gereja di tengah dunia. Gereja dipanggil untuk menjadi pekabar Injil (kabar sukacita, kabar gembira)1 tentang kasih karunia yang telah dinyatakan oleh Tuhan Yesus Kristus. Gereja diutus untuk mengabarkan Kabar sukacita itu ke semua bangsa di seluruh dunia. Pekabaran Injil yang merupakan salah satu unsur kesaksian (marturia) dalam Tri Dharma gereja berjalan beriringan dengan pelayanan (diakonia) dan koinonia (persekutuan). Tri Dharma gereja itu dilaksanakan sebagai bentuk misi2 gereja di tengah dunia. Ketiga unsur misi tersebut tidak dapat dipisahkan.3 Tetapi perjalanan sejarah gereja memperlihatkan bahwa ketiga unsur misi ini cenderung berjalan secara terpisah. Pekabaran Injil hanya dianggap sebagai kesaksian dan cenderung berdiri sendiri tanpa pelayanan dan persekutuan. Hal ini dapat dilihat melalui strategi pekabaran Injil yang pernah dijalankan gereja, yaitu:4 1. Pekabaran Injil yang bersifat memaksa, yaitu pekabaran Injil yang berusaha membuat orang lain menjadi kristen dengan menggunakan cara apapun termasuk paksaan dan kekerasan. Pekabaran Injil ini lebih memfokuskan diri pada unsur kesaksian. 2. Pekabaran Injil ke dalam, yaitu pekabaran Injil yang mementingkan pelayanannya pada kemapanan gereja. Pelayanan difokuskan untuk memuaskan anggota gereja. 3. Pekabaran Injil ke luar, yaitu pekabaran Injil yang tidak hanya memfokuskan pelayanannya hanya ke dalam gereja akan tetapi juga melayani orang-orang yang berada di luar gereja yang memerlukan pertolongan gereja. Gereja melayani orang-orang yang menderita karena kemiskinan, kekerasan, ketidakadilan dan korban ketamakan. Gereja yang hadir di tengah masyarakat Indonesia seharusnya memperhatikan konteks yang dihadapi oleh masyarakat Indonesia. Gereja tidak dapat berdiam diri bagaikan sebuah kastil yang dipisahkan dengan dunia luar oleh parit besar. Gereja sebenarnya Tahu akan konteks masyarakat yang ada di sekitarnya, akan tetapi gereja sering sekali tidak berbuat apa-apa. Pekabaran Injil adalah Kabar Gembira yang harus disampaikan oleh gereja lewat tindakan nyata dengan melihat konteks masyarakat Indonesia sebagai bagian dari pergumulan dan pelayanan gereja. Sebagaimana pendapat Singgih bahwa konteks masyarakat Indonesia yang dihadapi oleh gereja-gereja adalah kemiskinan yang parah dan masalah-masalah pluralitas religius.5 Berdasarkan pendapat ini, Singgih menekankan bahwa konteks kemiskinan dan pluralitas agama sebagai konteks masalah yang terjadi di Indonesia. Pendapat ini tentunya belum mewakili semua permasalahan yang ada dalam masyarakat Indonesia, akan tetapi permasalahan ini merupakan salah satu dari berbagai konteks permasalahan yang penting untuk diperhatikan oleh gereja. Mendekati persoalan konteks kemiskinan dan pluralitas agama sebagai konteks pergumulan masyarakat Indonesia, berbagai teori dan ide bermunculan sebagai bentuk upaya mencari solusi. Salah satu idea yang mengemuka dan menjadi perdebatan akhir-akhir ini adalah idea Civil Society. Civil Society sebagai suatu istilah yang baru, menjadi bagian dari diskusi-diskusi ilmiah, ceramahceramah dan debat politik para tokoh masyarakat, maupun tokoh-tokoh agama.Civil society merupakan suatu idea bentuk masyarakat yang ideal. Civil society menggambarkan suatu keadaan masyarakat yang sopan dan toleran, memiliki kemadirian dan dapat menyelesaikan masalah tanpa kekerasan.6 Nilainilai yang terkandung dalam civil society itu dianggap cocok sebagai solusi bagi konteks masyarakat Indonesia yang tengah bergumul dalam masalah kemiskinan yang parah dan pluralitas religius. Gereja Protestan di Indonesia bagian Barat (selanjutnya disingkat GPIB) merupakan salah satu gereja yang hadir di tengah masyarakat Indonesia. Konteks kemiskinan dan pluralitas religius tentunya juga menjadi bagian dari pergumulan gereja GPIB sebagai bagian dari gereja-gereja yang hadir di Indonesia, dan bagian dari masyarakat Indonesia. Bentuk kehadiran dari GPIB di tengah masyarakat Indonesia sebagai bagian dari masyarakat adalah misi Pekabaran Injil. Jika mengacu bentuk pelaksanaan Pekabaran Injil, maka seharusnya GPIB benar-benar menyatakan Kabar Gembira ke tengah masyarakat Indonesia dengan menjawab konteks pergumulan kemiskinan dan pluralitas religius. Akan tetapi pekabaran Injil akan menjadi Kabar buruk jika GPIB maupun gereja-gereja lain tidak menjawab konteks kemiskinan dan pluralitas religius dengan melihat Pekabaran Injil sebagai upaya untuk memaksa atau berupaya mengkristenkan orang lain. Pemahaman Pekabaran Injil yang seperti ini akan menyebabkan timbulnya rasa saling mencurigai, keresahan, bahkan dapat menimbulkan konflik horizontal di tengah masyarakat. Pekabaran Injil seperti ini menjadi Kabar meresahkan bagi masyarakat.7