PENGALAMAN RELIGIUS KAUM TUNAWISMA (SUATU TINJAUAN TEOLOGIS DAN FENOMENOLOGIS)

Main Author: GUNAWAN ADI PRABOWO
Other Authors: WAHYU SATRIA WIBOWO,
Format: Bachelors
Terbitan: SInTA - Unit Perpustakaan Universitas Kristen Duta Wacana (UKDW) Yogyakarta , 2007
Subjects:
Daftar Isi:
  • ABSTRAKSISetiap manusia memiliki pengalaman dalam kehidupannya yang dihasilkan melalui perjumpaan dengan berbagai peristiwa. Perjumpaan tersebut mengandung makna/nilai - nilai hidup, sehingga menjadi bagian penting dalam sejarah kehidupan manusia. Nilai nilai yang ada akan selalu dikaitkan dengan peristiwa peristiwa yang sedang dan akan terjadi, jadi ada benang merah antara pengalaman yang satu dengan pengalaman lainnya. Pengalaman yang dimiliki seseorang selalu bersifat subyektif, karena dialami secara pribadi (sekalipun secara komunal) dan berhubungan dengan rasa/kesan individu melalui interpretasi terhadap pengalamannya1. Pengalaman tersebut mengandaikan adanya perjumpaan antara seseorang dengan sesuatu yang diobyekan. Hasilnya seseorang akan memiliki pengetahuan terhadap apa yang dijumpai/dialami, terutama berkaitan dengan pergaulan praktis dengan kehidupan dunia.2 Pengalaman manusia salah satunya berhubungan dengan religiusitas, yaitu pengalaman perjumpaan dengan yang ilahi/Yang Lain3. Ia dianggap sebagai obyek yang mempunyai kekuasaan dan kekuatan, sehingga memunculkan rasa takut dan tertarik kepadaNya. Pengalaman ini kemudian disebut sebagai pengalaman religius4, karena menghubungkan dan mempersatukan antara seseorang dengan yang ilahi/Yang Lain melalui kehadiran-Nya dalam berbagai segmen kehidupan. Perjumpaan dengan yang ilahi/Yang Lain menjadikan seseorang memiliki pengetahuan tentangNya. Pengetahuan ini bila dimaknai terus akan mengantar seseorang pada pengalaman pengalaman berikutnya, sebab makna yang diperoleh dari perjumpaan tersebut mendorong seseorang untuk melibatkan pengetahuan dan pengertian tentang-Nya dalam setiap pengalaman baru. Pengetahuan dan pengertian yang terus dimaknai akan semakin memperteguh keyakinan seseorang, sehingga membuat dirinya tunduk dan hormat kepadaNya. Rudolf Otto mengisitilahkannya dengan Mysterium Tremendun et Fascinosum, dimana yang ilahi/Yang Lain mempunyai sifat tremendum (menggetarkan) dan sifat fascinosum (mempesonakan/menarik)5. Dengan demikian yang ilahi/Yang Lain menjadi realitas yang ditakuti dan juga dihampiri/didekati. Ia ditakuti karena dianggap mempunyai kekuatan/kekuasaan yang lebih dari manusia. Disisi lain, Ia memiliki pesona yang membuat manusia tertarik menghampiri-Nya, karena menjadi sandaran/memberikan harapan dalam kehidupan ini. Pengakuan dalam pengalaman ini membawa manusia kepada kesadaran akan keterbatasannya, sehingga muncul sebuah sikap ketergantungan kepada-Nya. Ia diharapkan sebagai way of life yang menjadi sumber segala sumber kehidupan. Sikap ketergantungan kepada-Nya membuat seseorang bisa mengubah cara pandang terhadap hidup yang dijalani. Hal ini terjadi karena ada sebuah rekonstruksi pada pemikiran dan tindakan sebagai sebuah ungkapan dari pengalaman tersebut. Seseorang secara aktif merespon kehadiran yang ilahi/Yang Lain dalam berbagai peristiwa. Respon ini yang membuatnya memiliki endapan historis, yaitu pengalaman perjalanan hidup yang mengantarkan dirinya merasakan kehadiran-Nya terus menerus, sehingga ia memiliki ketergantungan kepada yang ilahi/Yang Lain dalam setiap sendi kehidupan. Pengalaman perjumpaan dengan-Nya bisa dialami oleh siapa saja, karena pada dasarnya menurut Mircea Eliade setiap manusia adalah keturunan Homo Religius6, yaitu keturunan para nenek moyang yang mengakui adanya realitas yang absolut, transenden, sakral dan mengatasi dunia. Pengakuan ini memunculkan keyakinan bahwa apa yang ada di dunia bersumber dari-Nya, sehingga ia dianggap sebagai asal mula dari segala sesuatu. Dengan demikian kaum tunawisma juga adalah keturunan homo religius, sehingga dimungkinkan merekapun memiliki pengalaman religius tersebut. Oleh karena itu penulis tertarik untuk melihatdan mengamati kehidupan kaum tunawisma dalam kerangka pengalaman religius yang mereka alami dan rasakan sebagai sebuah bentuk perjumpaan dengan-Nya. Pengamatan ini kemudian dihubungkan dengan kehidupan yang dijalani oleh mereka. Apakah yang nampak dalam pengalaman tersebut berpengaruh terhadap ketidakmapanan yang memaksa mereka harus bekerja keras dan hidup no-maden ?, baik itu berupa pengakuan akan adanya realitas yang mengatasi manusia ataupun dalam rangka bertahan hidup dan hubungan dengan sesama. Penulis mengungkapakan bentuk bentuk pengakuan yang muncul, yaitu didasarkan pada perjumpaan secara langsung dengan-Nya atau hasil dari olah rasa yang kemudian dihayati dan juga menyertakan darimana mereka mengamsusikan bahwa itu adalah perjumpaan dengan yang ilahi/Yang Lain, terutama darimana mendapatkan istilah/pengetahuan tersebut. Semuanya dimaksudakan agar diketahui bentuk pengungkapannya dalam kata kata, tindakan dan perilaku dalam kehidupan. Penulis juga mengajak pembaca untuk memikirkan/melihat pengalaman religius kaum tunawisma, dengan harapan sikap hidup yang muncul dari hasil pengalaman religius mereka akan memperkaya pembaca dalam memahami makna pengalaman religius dalam sebuah situasi yang sulit. Selain itu penulis mengajak pembaca untuk memaknai kembali pengalaman pengalaman yang telah terjadi, sehingga diperoleh suatu sikap hidup yang memberikan ruang bagi pengalaman batin, yaitu pengalaman perjumpaan dengan-Nya melalui berbagai peristiwa yang terjadi.