PATUNGGILAN KANG NYAWIJI SEJARAH, PEMAHAMAN DAN PENERAPANNYA DI GKJW
Main Author: | SHANTI YANUARINI |
---|---|
Other Authors: | , |
Format: | Bachelors |
Terbitan: |
SInTA - Unit Perpustakaan Universitas Kristen Duta Wacana (UKDW) Yogyakarta
, 2006
|
Subjects: |
Daftar Isi:
- ABSTRAKSIGreja Kristen Jawi Wetan (GKJW) memiliki simbol eksistensi/keberadaan sebagai sebuah organisasi Gereja yang dituangkan dalam sesanti/ semboyan Patunggilan kang Nyawiji. Tata dan Pranata GKJW sendiri mengartikan Patunggilan kang Nyawiji sebagai persekutuan-persekutuan yang ada di GKJW. GKJW memiliki tiga persekutuan1 yakni : 1. Persekutuan setempat yang disebut jemaat termasuk pepantan-pepantannya, 2. Persekutuan Daerah (MD) yang merupakan berkumpulnya jemaat-jemaat yang tergabung dalam satu resort/wilayah, 3. Persekutuan jemaat-jemaat se-Jawa Timur yang disebut GKJW. Masing-masing persekutuan mempunyai ciri khas, namun kekhasan itu bukan merupakan jati diri satu-satunya, karena setiap persekutuan itu mengaku mempunyai persamaan dan ikatan satu dengan yang lain, sehingga semua merasa dan mengaku menjadi bagian dan membentuk satu persekutuan besar yakni Greja Kristen Jawi Wetan.2 Meskipun demikian masing-masing persekutuan juga tidak melebur menjadi satu atau kehilangan jati dirinya kendati berada dalam persekutuan yang besar. Setiap persekutuan tetap mempunyai jati diri dan ciri khasnya masing-masing. Fakta inilah yang melandasi semangat yang disebut sebagai kang Nyawiji (yang menyatu). Patunggilan kang Nyawiji telah lama menjadi semboyan GKJW3, bahkan Pdt. Budyanto sebagai salah seorang Dosen di UKDW yang dulunya merupakan salah seorang Pendeta GKJW menguatkan pernyataan bahwa struktur pemerintahan GKJW adalah Patunggilan kang Nyawiji4. Bahkan Christiaan de Jonge menuliskan dalam bukunya yang berjudul Apa Itu Calvinisme bahwa demikianlah Gereja ini memahami diri sebagai Patunggilan Nyawiji (Persekutuan Tunggal)..5 Permasalahan yang dihadapi adalah minimnya perhatian dan minat warga jemaat maupun peneliti sejarah Gereja tentang riwayat Patunggilan kang Nyawiji. Sebagai contoh, dalam suatu kesempatan penulis pernah bertanya kepada beberapa warga jemaat mengenai arti dari Patunggilan kang Nyawiji namun penulis tidak mendapatkan penjelasan yang memadai. Istilah Patunggilan kang Nyawiji dapat dikatakan asing di telinga warga jemaat terutama di kalangan pemuda GKJW. Keberagaman pendapat dapat dilihat ketika warga ditanya secara mendetil mengenai pemahaman mereka tentang Patunggilan kang Nyawiji. Salah seorang warga jemaat GKJW Tunjung Sekar yang bernama Dwi Cahyono (46 tahun) menyatakan bahwa Patunggilan kang Nyawiji bukan hanya milik GKJW, melainkan milik semua Gereja. Lebih lanjut dinyatakan bahwa Patunggilan kang Nyawiji diumpamakan seperti badan yang satu tetapi memiliki kemampuan yang berbeda. Perbedaan itu diharapkan dapat bersatu sehingga bisa terasa hidup. Dapat disebut banyak anggota tetapi satu tubuh dimana semua bagian ikut merasakan satu sama lain. Dwi Cahyono kemudian menambahkan bahwa anggota-anggota tersebut tidak hanya anggota PGI saja melainkan Pentakosta, Bethani dan Gereja yang beraliran lain juga memiliki Patunggilan kang Nyawiji. Sementara Danu Prawira dari Jemaat Surabaya (25 tahun) dan Siwi (18 tahun) dari Jemaat Swaru mengungkapkan bahwa mereka sering mendengar istilah tersebut namun tidak mengetahui artinya. Dan nampaknya bukan hanya mereka berdua saja yang tidak tahu arti dari sesanti ini melainkan sebagian besar pemuda di GKJW tidak mengetahui arti dari Patunggilan kang Nyawiji. Ibu Yatinem (43 tahun) dari GKJW Jemaat Swaru memahami Patunggilan kang Nyawiji dengan cara masing-masing anggota jemaat mengaku persaudaraan satu sama lain yang berasal dari jemaat yang berbeda. Persaudaraan ini dapat dirasakan secara nyata dalam bentuk persaudaraan jemaat-jemaat GKJW. Maksud dari pernyataan Ibu Yatinem adalah harapan agar jemaat saling memiliki rasa persaudaraan antaraseluruh jemaat se-Jawa Timur dan tidak hanya merasakan persaudaraan dalam hubungan antar warga dalam satu jemaat saja. Jika pemahaman Ibu Yatinem dijabarkan lebih lanjut dapat dilihat bahwa pemahaman Patunggilan kang Nyawiji Ibu Yatinem berbeda dengan pemahaman Dwi Cahyono dari jemaat Tunjung Sekar. Pendapat Dwi Cahyono lebih kepada pemahaman GKJW sebagai salah satu bagian dari tubuh Kristus dan pemahaman Ibu Yatinem lebih mengungkapkan sisi persaudaraan se GKJW. Jika Patunggilan kang Nyawiji ditanyakan kepada warga atau Pendeta yang berusia lanjut maka akan didapatkan jawaban yang hampir serupa. Menurut Bpk Abiproyo (76 tahun) dari jemaat Surabaya, Patunggilan kang Nyawiji dapat dilihat dalam hubungan antar jemaat dengan sinode, di mana antara jemaat dan sinode merupakan satu kesatuan utuh. Pemahaman tersebut digambarkan seperti rumah dan batu bata merahnya. Sementara itu Pdt. Em. Widodo Kamso mengungkapkan bahwa GKJW berbeda dengan Gereja lain karena ada Patunggilan kang Nyawiji. Menurutnya GKJW merasa diri satu dalam wujud nyata Patunggilan di mana tidak ada perbedaan antara jemaat desa, kota kecil dan kota besar, semua merasa satu. Walau berbeda-beda tingkat ekonomi dan keadaan jemaat namun merasa sebagai satu bagian GKJW. Dapat dikatakan bahwa masing-masing jemaat mempunyai pemahaman yang berbeda mengenai Patunggilan kang Nyawiji, namun ketika ditanya mengenai asal munculnya Patunggilan kang Nyawiji, tidak ada jemaat ataupun Pendeta yang mampu memberi jawaban yang pasti mengenai kapan hadirnya Patunggilan kang Nyawiji. Pdt. Em. Widodo Kamso menyatakan tidak tahu pasti kapan hadirnya sesanti itu. Sementara itu Bpk Abiproyo menyatakan bahwa perkembangan Patunggilan kang Nyawiji terjadi pada sekitar tahun 1967-an. Ketika ditanyakan kepada Ibu Dwi Ratna MTh. selaku Wakil Sekretaris Umum Majelis Agung menyatakan bahwa Patunggilan kang Nyawiji muncul sebagai tradisi lisan jadi tidak dapat ditelusuri kapan tepatnya Patunggilan kang Nyawiji hadir. Sementara itu Pdt. Bambang Ruseno menyatakan bahwa Patunggilan kang Nyawiji secara implicit muncul sejak berdirinya GKJW. Namun ketika ditanyakan kapan persisnya istilah Patunggilan kang Nyawiji muncul, hal ini tidak diketahui oleh Pdt Bambang Ruseno. Istilah Patunggilan kang Nyawiji yang menjadi sesanti GKJW kurang dikenal oleh warga GKJW terutama generasi sekarang merupakan alasan utama untuk menuangkan kedalam bentuk skripsi. Dapat dikatakan warga jemaat maupun Pendeta tempat penulis bertanya hanya memiliki pengetahuan mengenai Patunggilan kang Nyawiji secara umum. Pengetahuan umum yang dimiliki tersebut tidak ditunjang dengan pengetahuan mengenai riwayat dan latar belakang terbentuknya Patunggilan kang Nyawiji sehingga menjadi landasan atau simbol struktur GKJW. Skripsi ini bertujuan untuk mendeskripsikan riwayat dan latar belakang terbentuknya sesanti Patunggilan kang Nyawiji dan pengaruh Patunggilan kang Nyawiji dalam organisasi GKJW.