"TINJAUAN ETIS TEOLOGIS TERHADAP RESPON GEREJA YANG DITUTUP MASSA&quot
Main Author: | GUNAWAN SAPUTRA |
---|---|
Other Authors: | YAHYA WIJAYA, |
Format: | Bachelors |
Terbitan: |
SInTA - Unit Perpustakaan Universitas Kristen Duta Wacana (UKDW) Yogyakarta
, 2007
|
Subjects: |
Daftar Isi:
- ABSTRAKSIAksi penutupan gedung gereja di Jawa Barat dan daerah lain kian marak akhir-akhir ini. Aksi yang dilakukan oleh beberapa organisasi massa seperti Aliansi Gerakan Anti Pemurtadan (AGAP), Barisan Anti Pemurtadan (BAP), Front Pembela Islam (FPI) dan oleh aparat Pemda setempat ini melandaskan tindakannya antara lain pada : A. Surat Keputusan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri No.01/BER/MDN-MAG/1969 tentang pelaksanaan tugas aparat pemerintah dalam menjamin ketertiban dan kelancaran pelaksanaan pengembangan dan ibadah agama oleh pemeluk - pemeluknya. B. Surat kawat Menteri Dalam Negeri No. 264/kwt/PIT-PUN/DV/V/1975 tentang larangan menggunakan rumah tinggal berfungsi sebagai gereja. 1 Keluhan pihak gereja terhadap masalah ini tidak mendapat tanggapan sesuai harapan. Sebab Kapolri Jendral Sutanto sendiri membantah telah terjadi penutupan gedung gereja. "Berdasarkan laporan Polda Jabar tanggal 24 Agustus 2005, yang ditutup pada umumnya bukan gedung gereja tapi tempat tinggal, ruko atau gedung pertemuan yang dijadikan tempat ibadah," kata Kapolri saat rapat kerja dengan Komisi III DPR di Gedung MPR/DPR, Jakarta.2 Apa yang dikatakan Jendral Sutanto ada benarnya. Terlepas dari kontroversi tentang kekuatan hukum SKB dua menteri dan Surat Kawat Menteri Dalam Negeri, pada kenyataannya banyak gedung gereja yang tidak memiliki ijin tempat ibadah oleh pihak tertentu dianggap sebagai bukan gedung gereja yang penggunaannya sebagai tempat ibadah dianggap sebagai pelanggaran. Gereja berada di posisi yang serba salah. Di satu sisi gereja tentu membutuhkan dan berhak untuk memiliki gedung sebagai tempat beribadah. Undang Undang Dasar sendiri menjamin setiap warga untuk dapat menjalankan ibadahnya dengan bebas. Namun di sisi lain negara Indonesia yang majemuk mendorong pemerintah untuk membuat peraturan yang mengatur tentang ketertiban dan kelancaran beribadah bagi setiap agama dan pemeluk-pemeluknya. Peraturan ini kemudian diwujudkan dengan mengharuskan semua pihak yang ingin mendirikan tempat ibadah untuk memenuhi sejumlah syarat demi terciptanya kerukunan antar umat beragama. Peraturan ini bagi umat Kristen (yang minoritas) dirasa memberatkan dan tidak memperhatikan hak asasi manusia tentang kebebasan beribadah. Di tengah kebutuhan akan tempat ibadah akhirnya banyak gereja yang membangun tempat ibadah walau tidak memiliki ijin dari pemerintah daerah setempat. Tidak adanya ijin membangun tempat ibadah dari sebagian gereja ini pada akhirnya memicu aksi dari FPI, AGAP dan BAP. Entah apa alasan mereka sebenarnya namun pernyataan yang sering diungkap adalah demi terciptanya kerukunan umat maka semua pihak harus mentaati peraturan yang ada. Pihak yang dianggap melanggar aturan, dalam hal ini gereja yang tidak memiliki ijin, harus ditertibkan. Kita tidak dapat dengan serta merta menyatakan bahwa pihak gereja benar dan FPI dan kawan-kawan salah atau sebaliknya. Sebab masing-masing pihak tentu memiliki dasar pemikiran dari tindakan-tindakan mereka. Gereja merasa berhak memiliki tempat ibadah sebagai bagian dari hak asasi sebagai manusia sementara FPI dkk merasa wajib turut menjaga tegaknya peraturan dengan dalih demi kerukunan bangsa. Peliknya permasalahan ini tentu menimbulkan respon dari gereja yang mengalami penutupan paksa oleh massa. Ada gereja yang mengadakan ibadah di jalan atau di puingpuing gedung gerejanya yang telah dirubuhkan. Ada juga gereja yang melakukan demo di Bundaran HI untuk mencari dukungan akan keberadaan gedung gerejanya. Bahkan tidak mustahil di tengah keterdesakkannya pihak gereja merespon penutupan gedung gerejanya dengan cara-cara yang tidak sesuai dengan etika kristiani.