PEMBINAAN PASANGAN SUAMI ISTRI DI GKI PURI INDAH
Main Author: | RAHMADI PUTRA |
---|---|
Other Authors: | HENDRI WIJAYATSIH, |
Format: | Bachelors |
Terbitan: |
SInTA - Unit Perpustakaan Universitas Kristen Duta Wacana (UKDW) Yogyakarta
, 2006
|
Subjects: |
Daftar Isi:
- ABSTRAKSIProses perubahan yang terjadi dalam masyarakat, seperti perubahan pola pikir, perubahan gaya hidup, perubahan sosial, perubahan teknologi, dan sebagainya, memiliki efek-efek negatif terhadap kehidupan jemaat gereja saat ini. Keadaan tersebut mau tidak mau mengharuskan gereja untuk terlibat penuh di dalamnya, karena yang berperan penting dalam pertumbuhan dan perkembangan sebuah gereja adalah warga jemaat atau umat dari gereja yang bersangkutan.1 Contoh dari keterlibatan gereja dalam menangani hal tersebut yaitu dengan banyak dilakukannya pembinaan bagi jemaat gereja. Salah satunya yaitu pembinaan bagi pasangan suami istri (pasutri). Kegiatan ini nantinya diharapkan dapat menangani gejalagejala ketidakharmonisan di dalam rumah tangga yang kerap terjadi. Dalam rumusan Tata Gereja Sinode GKI Wilayah Jawa Barat, pembinaan pasutri tidak menjadi keharusan bagi gereja-gereja GKI di wilayah Jawa Barat.2 Namun demikian Sinode GKI Jabar memberikan kebebasan bagi tiap-tiap gereja GKI dalam hal mengadakan pembinaan ataupun membentuk sebuah komisi baru jika dirasakan bermanfaat bagi jemaat gereja yang bersangkutan. Maka dari itu pada bulan April 2001, majelis bidang pembangunan jemaat GKI Puri Indah Jakarta membentuk sebuah unit kerja / kepengurusan yang bertugas merancang program serta kegiatankegiatan untuk pembinaan pasutri. Kegiatan unit kerja ini diawali dengan persekutuan suami istri yang bertemakan seputar keluarga. Persekutuan ini dilakukan satu kali dalam sebulan. Seiring dengan berjalannya persekutuan tersebut, unit kerja pembinaan pasutri menyelenggarakan Weekend Pasutri I pada tanggal 18-19 Agustus 2001 di Pondok Anugerah Gunung Geulis Sukabumi dan Weekend Pasutri II pada tanggal 4-5 Mei 2002 di tempat yang sama. Acara Weekend Pasutri ini ditujukan untuk memungkinkan para pasangan suami istri untuk dapat saling berbagi pengalaman dengan pasangan yang lain serta diskusi dengan pembicara atau pendeta mengenai tema yang dibawakan saat itu. Peserta yang hadir dalam acara tersebut berjumlah sekitar 15 pasutri (30 orang). Tidak lama setelah Weekend Pasutri II terlaksana, persekutuan yang sudah dijadwalkan satu bulan sekali tidak dapat menarik perhatian para pasutri. Peserta persekutuan menurun drastis dan keadaan di dalam persekutuan menjadi lesu dan tidak bergairah seperti di awal terbentuknya pembinaan ini. Anggota unit kerja berusaha mencari tema-tema baru yang upto-date, namun apa daya, usaha mereka sia-sia belaka. Bahkan retret pasutri yang ke-III tidak dapat terlaksana karena kurangnya peserta yang mendaftarkan diri. Melihat kenyataan yang terjadi unit kerja ini melakukan pelawatan kepada jemaat yang bertujuan untuk menghidupkan kembali pembinaan pasutri, namun mereka malah mendapat perlakuan yang dingin disertai kata-kata sinis dari beberapa jemaat yang seolaholah menunjukkan kalau mereka tidak memerlukan kegiatan semacam itu. Unit kerja pembinaan pasutri inipun dengan sendirinya menjadi tidak bersemangat di dalam menjalankan tugasnya sebagai penyelenggara kegiatan. Pembinaan pasutri ini vakum untuk beberapa saat, tidak ada kegiatan, tidak ada rapat, dan kemudian bubar seiring dengan berjalannya waktu. Pembinaan pasutri ini tidak berkelanjutan lagi sampai sekarang.3 Keberhasilan dalam pembinaan pasutri tentu akan menghasilkan keluarga-keluarga yang baik atau harmonis pula. Dan keadaan keluarga yang baik adalah faktor mutlak untuk tercapainya kesejahteraan bagi orang perorangan, masyarakat umum maupun gereja. Artinya, nilai-nilai hidup sebuah keluarga yang menjiwai anggota keluarga tersebut akan terpantul keluar dan akan menentukan pandangan hidup selanjutnya bagi seluruh anggota keluarga tersebut. Maka dari itu keadaan keluarga yang saling rukun, saling pengertian, saling menghargai, dan sebagainya akan mempengaruhi perkembangan pribadi seseorang dan pandangan hidupnya. Relasi antara suami danistri bukan hanya masalah cinta individual antara lelaki dan perempuan, melainkan masalah masa depan generasi, karena keluarga merupakan sel masyarakat, dan gereja banyak tergantung dari keadaan keluarga. Kegiatan, hidup, dan matinya gereja sangat ditentukan juga dari semangat Kristiani yang ada di dalam keluarga-keluarga. Jadi keluarga yang baik tidak akan ada dengan sendirinya dari pasutri yang hanya mengerti soal asmara, melainkan perlu dibentuk, dibina, diusahakan, dan dipersiapkan dengan sungguh-sungguh.4 Dalam skripsi ini penulis mencoba untuk melihat secara jelas, mengapa pembinaan pasutri tersebut tidak berkelanjutan lagi di GKI Puri Indah dengan meneliti para pasutri yang pernah mengikuti pembinaan pasutri dan anggota majelis jemaat selaku pejabat gereja. Dalam skripsi ini juga, penulis mencoba memberikan saran konkret kepada GKI Puri Indah dalam rangka menghidupkan kembali pembinaan pasutri.