PERKAWINAN PAKSA ADAT SUMBA DI GKS PRAIBAKUL-LAHI HURUK (Suatu Tinjauan Teologis)
Main Author: | INGSIANY MELDI INA BILI |
---|---|
Other Authors: | DJAKA SOETAPA, |
Format: | Bachelors |
Terbitan: |
SInTA - Unit Perpustakaan Universitas Kristen Duta Wacana (UKDW) Yogyakarta
, 2008
|
Subjects: |
Daftar Isi:
- BAB I PENDAHULUANA. Latar Belakang Setiap manusia yang hidup dalam dunia pada umumnya menginginkan suatu hubungan yang didasari rasa saling mencintai sebelum memasuki sebuah perkawinan dan membentuk sebuah keluarga yang bahagia dan harmonis. Sebagai makhluk sosial, kebanyakan manusia merasa senang hidup di dalam keluarga. Sebagai langkah awal untuk membentuk sebuah keluarga adalah melalui perkawinan.Perkawinan yang bahagia merupakan dambaan setiap orang. Kebahagiaan dalam perkawinan tentu saja sangat tergantung pada setiap orang atau pribadi yang menjalani perkawinan tersebut. Salah satunya dengan memilih pasangan, baik suami atau isteri yang sesuai dengan keinginannya sendiri, tanpa paksaan dari pihak lain termasuk orang tua dan keluarga.Dalam Undang-Undang Dasar Perkawinan 1974, telah diletakkan Asas-Asas Hukum Perkawinan Nasional antara lain yang paling pokok adalah : 1 1. Tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan KeTuhanan Yang Maha Esa. 2. Perkawinan merupakan ikatan lahir dan bathin, harus berdasarkan persetujuan kedua belah pihak yang akan melangsungkan perkawinan, tidak boleh ada paksaan dari pihak manapun. 3. Untuk melangsungkan perkawinan ditentukan batas umur serendah-rendahnya, pria harus sudah berumur sembilan belas tahun dan wanita harus sudah mencapai umur enam belas tahun. Dan izin orang tua masih diperlukan sampai yang akan kawin itu mencapai umur dua puluh satu tahun.Kebanyakan orang cenderung untuk menentukan pasangannya sendiri, setelah cocok dan sesuai baru meminta persetujuan dari orang tua dan keluarga. Namun hal tersebut di atas tidak berlaku dalam perkawinan paksa adat Sumba, karena dalam perkawinan paksa adat Sumba yang ditekankan bukan saja harus ada persetujuan dari orang tua dan keluarga, tetapi justru orang tua dan keluarga yang paling berperan penting dan berhak memilih dan menentukan jodoh atau pasangan hidup yang cocok dan sesuai buat anaknya. Karena jodoh yang ditentukan oleh orang tua dan keluarga merupakan jodoh yang terbaik, maka anak yang mau dijodohkan tidak boleh menolak.1K. Wantjik Saleh, Hukum Perkawinan Indonesia, Jakarta, Ghalia Indonesia, 1976, p. 5Artinya bahwa perkawinan masyarakat Sumba bukan hanya persoalan laki-laki dan perempuan yang akan menikah, tapi lebih kepada keterlibatan orang tua dan keluarga dalam memilihkan jodoh untuk anaknya. Keterlibatan orang tua dan keluarga dalam memilihkan jodoh untuk anaknya sangat penting, karena berkaitan dengan marapu sebagai arwah nenek moyang yang merupakan kepercayaan asli masyarakat Sumba. Karena itu, dalam memilihkan jodoh bagi anaknya, tidak asal-asalan saja harus berdasarkan hubungan anak om, hubungan darah, dan hubungan pertemanan.Dalam perkawinan adat Sumba, perkawinan yang paling dikehendaki adalah perkawinan yang dipilih dan ditentukan sendiri oleh orang tua dan keluarga. Perkawinan bagi orang Sumba dipandang sebagai perintah yang harus dilaksanakan sesuai dengan peraturan-peraturan yang ditetapkan oleh nenek moyang dalam bentuk adat perkawinan. Perkawinan yang tidak mengindahkan peraturan-peraturan adat dianggap tidak akan langgeng dan bahagia. Selain itu, perkawinan bagi suku Sumba pada dasarnya bukanlah soal wanita-pria yang kawin semata-mata, tetapi itupun soal orang tua (ibu-bapa), soal sanak keluarga dan soal kabihu (suku atau marga) kedua belah pihak. 22Oe. H. Kapita, Masyarakat Sumba dan Adat Istiadatnya, Waingapu, BPK Gunung Mulia, 1976, p. 61