KEKERASAN TERHADAP ANAK DALAM POLA ASUH KELUARGA DAN TANGGAPAN KEKRISTENAN TERHADAPNYA
Main Author: | MARINI KONDI |
---|---|
Other Authors: | ROBERT SETIO, |
Format: | Bachelors |
Terbitan: |
SInTA - Unit Perpustakaan Universitas Kristen Duta Wacana (UKDW) Yogyakarta
, 2006
|
Subjects: |
Daftar Isi:
- ABSTRAKSIDalam seminar sehari bertema Hak Anak dan Kekerasan pada Anak, Kristi Poerwandari, Psikolog Universitas Indonesia dan Aktivis Yayasan Pulih, Lembaga Prevensi dan Intervensi Trauma, menceritakan sebuah kasus keluarga yang ditanganinya, yaitu Ny. Lisa yang sewaktu kecil selalu diikat oleh ibunya, jika ia bertengkar dengan adiknya. Ia juga tidak diperbolehkan makan, jika ia menolak untuk tidur siang. Sekarang ia mengulangi pengalaman itu pada Cika (4 tahun) putrinya, jika melakukan hal yang sama. Ny. Lisa mengakui bahwa tindakan ibunya membuat ia menderita, dan ia pun tahu bahwa anaknya juga merasakan hal yang sama, bahkan ia pun tidak menyukai keadaan/tindakan seperti itu. Menurut Poerwandari, pengulangan cara didik yang dilakukan Ny. Lisa pada anaknya, bisa dimaklumi karena Ny. Lisa hanya mengenal satu cara untuk mengajarkan disiplin yaitu dengan kekerasan. Ia menambahkan, bahwa kasus seperti ini juga bisa dialami oleh keluarga-keluarga lain, mereka akan memilih untuk menggunakan kekerasan dalam menerapkan disiplin pada anak, walaupun mereka tidak menyukai pilihan tersebut. Menurutnya, penggunaan cara ini (kekerasan) dalam menerapkan disiplin pada pola pengasuhan anak semakin dimungkinkan terjadi karena dipengaruhi oleh beberapa faktor, misalnya faktor keadaan ekonomi keluarga, faktor orang tua aktif bekerja, lingkungan keluarga, bentuk keluarga (single parent), tingkat pendidikan keluarga, budaya hingga nilai-nilai religius yang dianut oleh keluarga tersebut.1 hukuman fisik. Bahkan seorang saudaranya harus mengalami keterbelakangan mental karena hukuman fisik yang dialaminya. Pola pengasuhan yang dialaminya pada masa kecil mengakibatkan trauma bagi Ny. Rina. Dan pada akhirnya ketika Ny. Rina membentuk keluarga sendiri, ia sangat menentang penggunaan kekerasan fisik dalam mendidik anak. Dan memilih menggunakan kata-kata yang keras untuk menghukum perilaku yang salah dari anak-anaknya.2 Dalam dua kasus keluarga ini, anak mengalami kekerasan (fisik dan psikis) dalam pola pengasuhan orang tua. Akibat yang ditimbulkan adalah trauma bagi Ny. Lisa dan Ny. Rina dalam perjalanan keluarga mereka sendiri. Trauma penggunaan KA, bagi Ny. Lisa kembali diulang dalam perjalanan keluarganya sendiri, sedangkan bagi Ny. Rina, pengalaman masa kecilnya ini membuat ia menentang penggunaan kekerasan fisik dalam keluarganya sendiri. Baik Ny. Lisa maupun Ny. Rina tidak menyetujui penggunaan KA dalam pola pengasuhan anak mereka. Tetapi dalam proses perjalanan hidup mereka, ada perbedaan antara Ny. Lisa dan Ny. Rina. Pola pengasuhan yang diterima dan dilakukan oleh Ny. Lisa dan Ny. Rina dipengaruhi oleh banyak faktor, misalnya bentuk keluarga, lingkungan sosial, budaya, ekonomi keluarga, dan tingkat pendidikan, yang seringkali disadari atau tidak oleh orangtua dan anak, menjadi tekanan yang memicu timbulnya KA dalam pola pengasuhan. Contohnya keluarga yang tinggal di daerah miskin perkotaan dan berpendapatan di bawah rata-rata akan memiliki tekanan hidup yang berbeda tingkatnya dibandingkan dengan keluarga yang tinggal di daerah pedesaan. Perbedaan tingkat tekanan hidup ini, akan mempengaruhi penggunaan KA dalam pola asuh anak. Dalam teori kekerasan James Gilligan, ia berpendapat bahwa kekerasan merupakan lingkaran tragedi yang meliputi korban kekerasan dan juga pelaku/pencipta korban kekerasan, karena aksi manusia bersifat relasional baik dalam keluarga, sosial dan institusional. Kekerasan sulit untuk dicegah karena seringkali kekerasan yang terjadi, contohnya dalam keluarga telah menjadi bagian dari makrokosmos, budaya dan sejarahkekerasan itu sendiri.3 Tragedi yang dimaksud oleh Gilligan adalah para pelaku menderita kesedihan dan kesengsaraan lahir batin yang luar biasa hingga bisa menyebabkan kematian, sedangkan menurut St. Sunardi, kekerasan telah membudaya. Kekerasan tidak hanya terlihat dari kerusakan fisik manusia karena senjata tetapi telah masuk pada cara seseorang memandang orang lain, cara mendidik anak dan cara orang mengatasi konflik. Kekerasan telah menjadi ciptaan manusia dan cara hidup manusia.4 Dua teori kekerasan di atas memperlihatkan bahwa kekerasan menjadi sangat sulit untuk dipisahkan dari kehidupan manusia bahkan dari manusia itu sendiri, karena kekerasan telah menjadi sifat manusia, telah menjadi pilihan hidup seseorang dalam menyelesaikan masalah (kasus Ny. Lisa), karena ia dibentuk sejak kecil dengan cara yang demikian. Sedangkan Ny. Rina memilih bentuk pola asuh yang berbeda menurutnya karena akibat dari pola asuh yang dialaminya sewaktu kecil. Dari dua kasus diatas, membuktikan bahwa pola asuh orang tua mereka, memberikan pengaruh dalam pola pengasuhan anak mereka sendiri. Setiap pilihan yang diputuskan oleh Ny. Lisa dan Ny. Rina dipengaruhi oleh pengalaman masa kecil mereka. Oleh karena relasi manusia yang berkesinambungan, maka terjadinya KA dalam pola asuh keluarga tidak berdiri sendiri, tetapi kemungkinan terjadinya KA dapat dipengaruhi oleh faktor lainnya (misalnya sosial - ekonomi, budaya dan agama keluarga). Hal ini memperlihatkan bahwa KA merupakan bagian dari kekerasan umum, yang bisa menjadi salah satu pembentuk kehidupan manusia. Kehadiran kekerasan dalam setiap aspek kehidupan manusia, membuat manusia seakan-akan tidak berdaya untuk menolak/memutuskan lingkaran kekerasan tersebut, karena kekerasan dapat terjadi dalam interaksi keluarga dan masyarakat, bahkan kekerasan dapat menjadi kebiasaan/aturan tetap dalam kehidupan manusia. Pengulangan peristiwa kekerasan yang hadir dalam berbagai bentuk yang lain, mengakibatkan terjadinya lingkaran kekerasan dalam kehidupan manusia. Dalam teori kekerasannya, James Gilligan berpendapat bahwa, pemutusan lingkaran kekerasan ini dengan pencegahan terjadinya kekerasan yang baru, merupakan hal yang sangat mungkin untuk dilakukan, dengan memiliki pemahaman yang benar tentang penyebab atau motifmotif seseorang melakukan kekerasan. Oleh karena menurutnya, manusia merupakan makhluk hidup yang berbeda dengan makhluk hidup yang lain, manusia dapat menceritakan kisah. Manusia memiliki kemampuan akal budi untuk mempertahankan kehidupannya dari hal-hal yang dapat menghilangkan kehidupannya sendiri (misalnya kekerasan), dengan menceritakan kembali kisah atau peristiwa yang terjadi dalam sejarah hidupnya.5 Menurut Gilligan, tujuan umum terjadinya kekerasan adalah untuk mencapai keadilan menurut pelaku ataupun orang lain yang memiliki kepentingan atas terjadinya suatu kekerasan. Kekerasan yang terjadi menurut pelaku/pencipta kekerasan adalah sebuah keadilan, sedangkan bagi korban, kekerasan adalah ketidakadilan. Dunia internasional menentang KA, salah satunya dengan mengeluarkan Konvensi HakHak Anak (Convention On The Rights Of The Child) pasal 37 ayat (a) yang berisi himbauan tidak seorangpun dapat menjadi sasaran penyiksaan atau penghukuman yang kejam, tidak manusiawi atau merendahkan martabat.6 Sedangkan pemerintah Indonesia, juga telah mengeluarkan Undang-Undang Republik Indonesia No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Dengan adanya pernyataan atau UU ini, seorang anak berhak mendapat perlindungan dari negara, masyarakat dan keluarga atas kekerasan fisik maupun non fisik yang terjadi pada dirinya. Pernyataan ini berarti bahwa pada dasarnya setiap manusia menolak penggunaan kekerasan dalam hidupnya, dalam bentuk apapun. Walaupun demikian, pernyataan tentang penolakan bentuk-bentuk kekerasan, sangat dipengaruhi oleh pengertian kekerasan yang dipahami. Bahkan kenyataan saat ini, membuat kita bertanya-tanya benarkah manusia memiliki kesadaran untuk menolak bentuk kekerasan tersebut. Karena kenyataan saat ini membuktikan bahwa kasuskriminalitas yang berkaitan dengan kekerasan meningkat dalam setiap segi kehidupan hingga kita merasa tidak ada lagi tempat yang aman. Kekerasan yang terjadi tidak lagi memperhatikan siapa pelaku dan korban, adakah hubungan/ikatan darah diantara mereka, strata sosial masyarakatnya, status profesi/jabatan seseorang yang terkadang tidak menjamin seseorang terhindar dari tindak kekerasan. Bangsa Indonesia mengakui pentingnya peran agama dalam mengatur kehidupan warganya. Terbukti dengan adanya pasal 29 UUD Tahun 1945 yang mengatur tentang kebebasan kehidupan umat beragama untuk menjalankan ibadah. Bahkan kehidupan beragama anakpun diatur dalam UU RI No. 23 Tahun 2002 tentang perlindungan anak, pasal 43 ayat 2, yaitu Perlindungan anak dalam memeluk agamanya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi pembinaan, pembimbingan dan pengamalan ajaran agama bagi anak.7 Dengan dikeluarkan UU yang mengatur keberadaan agama, menunjukkan bahwa ada kesadaran dari negara tentang pentingnya peran agama. Melalui agama, seseorang diharapkan dapat berpikir, memutuskan dan bertindak untuk hidup sebagai warga negara yang baik dan benar, termasuk di dalamnya memutuskan untuk tidak menggunakan kekerasan. Melalui agama, seseorang diharapkan dapat menyadari akibat dari kekerasan tersebut. Akibat kekerasan diharapkan menuntun kita, untuk memiliki pemahaman bahwa atas alasan apapun kekerasan tidak diijinkan untuk dilakukan, termasuk di dalamnya tidak menggunakan KA dalam pola asuh orang tua. Agar seseorang sampai pada tahap ini, ia tidak hanya berpegang pada aturanaturan/ norma-norma sosial (UU), tetapi juga perlu melihat sejauh mana peran agama membimbing dalam proses memahami keberadaan kekerasan dalam kehidupannya. Oleh karena itu, agama dan aturan-aturan sosial yang berlaku memiliki peran penting untuk mengatur kehidupan seseorang. Dengan kata lain, agama bisa menjadi pendorong/inspirasi seseorang untuk menyadari kekerasan dalam kehidupannya dan kehidupan orang lain, dan pada akhirnya, seseorang juga diharapkan sampai pada tahap mencegah/memotong terjadinya lingkaran kekerasan. Jika tindak kekerasan terjadi dalam konteks keluarga, maka dapat dipastikan bahwa telah terjadi ketidakseimbangan dalam melaksanakan peran keluarga pada setiap anggotaanggotanya, karena setiap anggota keluarga akan saling mempengaruhi dan dipengaruhi dalam menjalankan perannya. Ketidakseimbangan peran dalam keluarga, misalnya penggunaan kekerasan dalam pola asuh orang tua terhadap anak, dimana seharusnya orang tua berperan sebagai pelindung/pemberi rasa aman terhadap anak dalam keluarga. Keluarga menjadi tempat yang penting untuk diperhatikan, karena menjadi tempat pertama bagi anak untuk belajar membangun hubungan dengan masyarakat di luarnya. Hal ini dijelaskan oleh Elizabeth Hurlock bahwa walaupun saat ini telah terjadi perubahan besar dalam fungsi keluarga karena mengikuti perkembangan sosial masyarakat, keluarga tetap memegang peran sebagai jaringan sosial anak yang pertama untuk bersikap terhadap orang, benda dan kehidupan secara umum. Keluarga tetap menjadi landasan pertama bagi anak untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan sosial, yang selanjutnya pengaruh keluarga ini mungkin akan berubah atau dimodifikasi oleh pengaruh-pengaruh dari luar, tetapi pengaruh lingkungan keluarga tidak akan hilang sama sekali.8 Dalam Pendidikan Agama Kristen (PAK), keluarga juga merupakan salah satu konteks terjadinya PAK, selain gereja, sekolah dan masyarakat. Keluarga menjadi tempat pertama yang memiliki peranan dalam membentuk jalan/pilihan hidup anggotanya. Ditegaskan oleh Horace Bushnell bahwa tempat utama bagi pertumbuhan menuju kedewasaan iman anak adalah keluarga, dan orang tua adalah pelaku utamanya (sebagai wakil Allah). Sejak usia dini anak perlu dibimbing, dengan menghadirkan suasana yangsungguh-sungguh Kristen. Orang tua sebagai wakil Allah menerima dan menjalankan otoritas pengasuhan anak berdasar pada otoritas Allah seutuhnya.9 Hal ini menunjukkan peran orang tua yang penting dalam menerapkan pola asuh yang sesuai nilai-nilai Kristiani pada keluarga, baik melalui perkataan dan perbuatan yang disesuaikan dengan nilai-nilai agama Kristen. Dan umumnya yang diharapkan orang tua Kristen dengan pola asuh seperti ini adalah akan membawa pengaruh bagi pertumbuhan dan perkembangan anaknya hingga dewasa. Pola asuh yang sesuai dengan nilai-nilai Kristiani diharapkan dapat membantu anak dalam menjalani kehidupannya sebagai orang Kristen. Hal ini menunjukkan bahwa PAK dalam keluarga menolak penggunaan KA dalam pola asuh orang tua, karena tidak hanya melihat pengaruh yang ditimbulkan dalam pertumbuhan dan perkembangan anak, tetapi juga karena penggunaan KA, telah melanggar atau bertentangan dengan nilai-nilai Kekristenan.