ANTARA CINTA DAN ADAT PENDAMPINGAN PASTORAL TERHADAP PERKAWINAN PASANGAN SATU PELA

Main Author: STEFANIE V. E. PALIAMA
Other Authors: EMMANUEL GERRIT SINGGIH,
Format: Bachelors
Terbitan: SInTA - Unit Perpustakaan Universitas Kristen Duta Wacana (UKDW) Yogyakarta , 2006
Subjects:
Daftar Isi:
  • BAB I PENDAHULUANDi Ambon salah satu bentuk kekerabatan bisa dilihat dalam tradisi Pela Gandong. Tradisi Pela Gandong merupakan budaya orang Ambon yang menggambarkan suatu hubungan kekerabatan atau persaudaraan di dalam masyarakat tanpa melihat perbedaan etnis maupun agama. Mereka yang terikat dalam tradisi Pela Gandong selalu mempertahankan tradisi ini dengan mengadakan upacara atau ritual yang disebut Panas Pela. Dalam upacara Panas Pela kita bissa melihat bagaimana semua komponen masyarakat ikut mengambil bagian dalam upacara tersebut, tanpa mempermasalahkan perbedaan sosial maupun agama. Tradisi Pela Gandong ini sangat baik untuk mempertahankan sebuah kebersamaan karena di dalam tradisi ini, masyarakat yang ada diajarkan oleh para leluhur untuk hidup saling bermakna satu terhadap yang lain. Dan ini merupakan satu hal yang sangat baik. Namun terkadang terjadi bahwa tradisi ini membawa penderitaan bagi beberapa pihak. Sebelum membahas lebih lanjut, ada baiknya penyusun menjelaskan terlebih dahulu asal mula adat pela gandong terbentuk.1.1 Latar Belakang Masalah 1.1.1 Legenda Adat Pela Gandong 1 Pada permulaan abad ke enam belas ada sepasang suami isteri yang berdiam di Gunung Batu di negeri Hatumeten (di bahagian selatan pulau Serang). Mereka mempunyai tiga orang anak laki-laki yaitu Temanolle, Simanolle dan Silaloi. Mereka juga mempunyai dua orang anak perempuan yang bernama Nyai Intan dan Nyai Mas. Ketika itu ibu bapak dan anak-anak itu masih kafir. Setelah anak-anak itu besar, terjadilah peperangan kemudian kabar peperangan terdengar sampai ke Hatumeten, maka bermufakatlah Temanolle, Simanolle dan Silaloi dengan diam-diam lalu pada tengah malam (dengan tidak ketahuan kedua orang tua dan kedua saudara perempuannya) ketiganya turun ke pantai dan dengan menggunakan Kora-Kora (perahu) mereka berlayar ke Hote-Banggoi untuk mengalahkan bangsa Portugis. Mereka melakukannya diawali dengan sebuah1A Sopaheluwakan, Tjeritera tentang Perdjandjian Persaudaraan Pela (Bongso-bongso) antara negeri Tamilou, Hutumuri dan Sirisori, dicetak di Nederland Agustus 1962 dan Oktober 1980 dan diterjemahkan oleh F.L.J. Tutuhatunewa, hlm 4.1pengakuan bahwa mereka akan tetap mempertahankan tanah, bahasa dan hubungan keluarga. Sebagai tanda, mereka meniup Bia atau Tauri (Alat musik tradisional daerah). Perang antara mereka dengan Portugis pun terjadi dan peperangan ini dimenangkan oleh ketiga bersaudara ini. Pesta besarpun dibuat untuk merayakan kemenangan perang. Ketika sedang berpesta, Temanolle kemudian menyatakan keinginannya untuk menetap di Hatu-Banggoi. Dia membentuk negeri baru dengan nama Masitoa Amalatu yang di ubah namanya menjadi Tamilou dan Temanolle memilih untuk memeluk agama islam.Kedua saudaranya tetap melanjutkan perjalanan ke pulau-pulau Lease. Sementara berlayar, terjadi angin ribut dan turun hujan lebat sehingga darat tidak lagi kelihatan, perahu kedua saudara ini hanyut dibawa angin. Ketika siang harinya, perahu mereka terkandas di Hatuila atau Labuhan Ananas, di belakang tanjung Ouw. Pada saat itu Silaloi kemudian memutuskan untuk tidak meneruskan perjalanannya bersama saudaranya. Tempat itu kemudian dinamai Negeri Elhau. Banyak orang berdatangan dari berbagai tempat ke Negeri Elhau dan akhirnya negeri itu dipindahkan tempatnya dan diberi nama Louhata Amalatoe. Karena alasan agama, maka dalam tahun 1717, terpaksalah negeri itu dibagi menjadi dua, yaitu Sirisori Serani dan Sirisori Islam yang mana masing-masing negeri memiliki pemerintahnya sendiri. Sementara itu Simanole, anak yang tengah melanjutkan perjalanan seorang diri. Simanolle kemudian berangkat dari Hatuila menuju ke pulau Molana, kemudian ke Teluk Baguala dan singgah di Waiyori. Waiyori sekarang diberi nama Hutumuri Kecil. Dari situ, Simanolle kemudian tinggal di Leunussa, yang kemudian dipindahkan tempatnya serta dinamai Siwa Samasuru Amalatu atau Hutumuri. Sebelum mereka memutuskan untuk berpisah, mereka sudah membuat perjanjian terlebih dahulu dengan tanda, mereka mengikat jari kelingking mereka menjadi satu dengan tulang Daun Seribu kemudian ketiga jari mereka dilukai dengan menggunakan tulang daun lalu tetesan darahnya diminum dengan membuat sembilan janji untuk turunan mereka yaitu ; 1. Tidak boleh saling mengawini 2. Tidak boleh saling menggagahi ataupun melakukan perkosaan 3. Saling menolong satu dengan yang lain 4. Susah maupun senang harus sama-sama ditanggung25. Tidak ada yang namanya perceraian antar saudara meskipun berbeda agama 6. Mempertahankan tanah tumpah darah 7. Siapa yang melanggar, hukuman akan berlaku bagi dirinya 8. Saksi perjanjian itu darah diminum 9. Perjanjian dikuatkan dengan ungkapan Demi nama Allah dan disaksikan oleh para malaikat . 1.1.2 Latar Belakang Jemaat Protestan di Maluku 2 Jemaat Protestan adalah kompleks yang paling besar dan paling berpengaruh dalam pola organisasi sosial yang sedang muncul di desa-desa Kristen Maluku Tengah. Hal ini dilambangkan oleh kenyataan bahwa gedung gereja selalu berdiri di tengah desa. Biasanya jemaat yang ada mencakup seluruh penduduk desa dan hakekat serta kegiatannya didasarkan pada kebudayan (kepercayaan, bahasa, upacara, sikap, lambang, dogma, sistem pemikiran, pola organisasi dan sebagainya) yang tidak berasal dari daerah itu sendiri. Dalam kehidupan jemaat terdapat kemiripan dengan pola kehidupan tradisional yaitu watak adatiah. Walaupun kehidupan jemaat didasarkan pada suatu asas yang sangat berlainan dari asas yang berlaku dalam lembaga-lembaga tradisional, tetapi semangat dan sifat kegiatan-kegiatan jemaat maupun motivasi serta sikap para peserta amat diwarnai oleh tradisi. Kepercayaan-kepercayaan serta praktek-praktek seperti itu diwariskan oleh angkatan yang lebih tua kepada generasi yang lebih muda, bukan karena dirasakan sebagai sesuatu yang wajib secara rasional atau atas kemauan sendiri atau demi kepuasan emosional, tetapi semata-mata karena kepercayaan dan praktek itu merupakan unsur-unsur tradisi keagamaan yang telah memberi ciri kepada masyarakat dari generasi ke generasi berabad-abad lamanya. Menganut kepercayan-kepercayaan serta pahampaham tersebut merupakan bagian dari kewargaan suatu desa. Demikian pula halnya bila mereka ikut dalam praktek-praktek keagamaan, baik secara bersama maupun perorangan. Hal-hal ini dilakukan bukan karena si pelaku sadar akan maksud serta hasil dari tindakannya itu, melainkan karena demikianlah caranya hal-hal itu dilaksanakan: Tentu saja hal-hal itu dilaksanakan dengan cara demikian karena kita adalah orang-orang2Frank L Cooley, Mimbar dan Tahta, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1987, hlm 63.3