"GKI PURWODADI BELAJAR DARI KOMUNITAS BASIS" STUDI TENTANG CARA MENGGEREJA KONTEKSTUAL DI TENGAH-TENGAH KEMISKINAN DAN KEBERAGAMAN AGAMA

Main Author: YONATAN WIJAYANTO
Other Authors: J B GIYANA BANAWIRATMA,
Format: Bachelors
Terbitan: SInTA - Unit Perpustakaan Universitas Kristen Duta Wacana (UKDW) Yogyakarta , 2006
Subjects:
Daftar Isi:
  • BAB 1 PENDAHULUAN1. 1 PERMASALAHAN 1. 1. 1 Latar Belakang Permasalahan Di Indonesia, pada umumnya konteks yang sekarang ini sedang dihadapi adalah konteks kemiskinan yang parah dan keberagaman agama. E. G. Singgih menunjukkan bahwa semenjak terjadinya krisis di negara ini, jumlah kaum miskin mengalami peningkatan hingga mencapai 10 juta jiwa. Pada masa Orde Baru, jumlah kaum miskin di Indonesia mencapai 27 juta jiwa. Pada masa setelah terjadi krisis di negara ini, jumlah kaum miskin telah mencapai angka 37 juta jiwa. Jumlah ini belum termasuk orang-orang yang hidup di bawah garis kemiskinan. Jika mereka yang berada di bawah garis kemiskinan diikutsertakan dalam perhitungan, E. G. Singgih memperkirakan jumlah kaum miskin bisa mencapai angka 50 juta jiwa atau seperempat jumlah penduduk Indonesia.1Peningkatan jumlah kaum miskin yang mencapai angka 10 juta jiwa ini memang bukanlah hal yang mustahil di negara Indonesia, sebab semenjak tahun 1997, perekonomian di negara ini mengalami perubahan yang cukup drastis. Perekonomian dalam negeri mengalami kemerosotan, nilai tukar rupiah terhadap dollar melemah hingga mencapai Rp. 15.000,00 untuk US $ 1. Kenyataan ini memaksa beberapa perusahaan gulung tikar. Selain itu, ada juga perusahaan yang mengambil kebijakan untuk melakukan efisiensi dengan cara mengurangi pegawai-pegawai mereka. Hal ini mengakibatkan banyak orang yang terkena pemutusan hubungan kerja (PHK), sehingga menambah jumlah pengangguran di negara ini.Krisis multidimensi yang terjadi di negara Indonesia semenjak tahun 1997 ternyata membawa dampak yang cukup memprihatinkan dalam berbagai bidang kehidupan di negara ini. Perusahan-perusahaan bangkrut, banyak buruh dan pengawai yang mengalami pemecatan, harga barang dan jasa membumbung tinggi, dan tingkat kemakmuran di Indonesia mengalami kemerosotan.2 Krisis yang terjadi pada kenyataannya semakin memperparah wajah kemiskinan di Indonesia.Selain fakta kemiskinan yang semakin parah, bangsa ini juga sedang dilanda krisis keagamaan. Konflik-konflik sosial yang melibatkan umat beragama terjadi secara beruntun diE. Gerrit Singgih, Teologi dalam Konteks III, (Yogyakarta : 2002), p. 44. I. Wibowo, Globalisasi dan Gereja (Indonesia), dalam J. B. Banawiratma (ed), Gereja Indonesia, Quo Vadis? Hidup Menggereja Kontekstual, (Yogyakarta : 2001), p. 28.2 11berbagai daerah di negara ini. Misalnya saja yang terjadi di Ambon, Maluku, Ternate, Poso dan Kalimantan Barat beberapa waktu yang lalu. Tentunya banyak faktor yang menyebabkan terjadinya konflik-konflik yang bernuansakan agama ini, seperti persepsi suatu agama terhadap agama lain, prasangka-prasangka terhadap agama lain, atau streotip-streotip terhadap kelompok agama lain.3 Akan tetapi apapun faktornya, yang pasti keharmonisan kehidupan umat beragama di negara ini sedang mengalami gangguan. Magnis-Suseno mengatakan :Bangsa Indonesia itu bangsa yang majemuk, ia terdiri atas ratusan etnik dan budaya yang menganut beberapa agama [] Dalam keadaan apapun tidak mudah mempersatukan kemajemukan semacam itu. Tetapi sekarang seakan-akan titik sambung mulai retak. Terjadilah semacam pengerutan ke dalam di mana masing-masing komunitas memusatkan diri pada dirinya sendiri, menarik dari komunikasi dengan komunitas-komunitas lain dan memandang mereka dengan curiga dan penuh prasangka [] eksklusivisme agama memberi kesan terus bertambah. Kesediaan untuk membangun solidaritas lintas komunitas dan golongan berkurang.4 E. G. Singgih mengungkapkan bahwa di tengah-tengah konteks yang demikian itu, gereja yang kontekstual adalah gereja yang menyadari konteks kemiskinan yang parah dan konteks keberagaman agama.5 Berdasarkan apa yang telah diungkapkan oleh E. G. Singgih tersebut, maka menjadi satu hal yang penting bagi gereja untuk semakin memperhatikan sikapnya dalam menanggapi konteks kehidupan yang penuh dengan kemiskinan dan keberagamaan agama seperti yang ada sekarang ini. Upaya-upaya untuk menggali dan menemukan bentuk serta cara menggereja yang baru di tengah-tengah konteks kemiskinan dan keberagaman agama perlu untuk dilakukan.Hal ini pula yang telah dilakukan oleh Gereja Katolik Indonesia. Dalam Sidang Agung Gereja Katolik Indonesia tahun 2000 (SAGKI 2000)6, Gereja Katolik berupaya untuk menggali dan menemukan cara menggereja yang baru di Indonesia. Sidang tersebut menghasilkan keputusan bahwa dalam rangka hidup menggereja di Indonesia perlu dikembangkan bentuk menggereja dalam komunitas-komunitas basis. Apakah yang dimaksud dengan Komunitas Basis? Robert Hardawiryana memberikan definisi tentang Komunitas Basis sebagai berikut Komunitas Basis adalah persekutuan umat yang relatif kecil, yang mudah berkumpul secara berkala untuk mendengarkan Sabda Allah, berbagi soal-soal harian bersama, mencari solusH. A. Malik Fajar, Indonesia Baru dalam Perspektif Pluralisme Agama, dalam Spektrum XXIX (2001), No. 1 Sidang Agung Gereja Katolik Indonesia (SAGKI), (Jakarta : 2001), p. 47. 4 Franz Magnis-Suseno, di Tahun 2000 Umat Katolik Indonesia Melihat ke Depan, dalam Spektrum XXIX (2001), No. 1 Sidang Agung Gereja Katolik Indonesia (SAGKI), p. 55. 5 E. Gerrit Singgih, Teologi dalam Konteks III, p. 40 46. 6 Sidang Agung Gereja Katolik Indonesia tahun 2000 (SAGKI 200) diselenggarakan di Wisma Kinasih, Caringin Bogor, pada tanggal 1 5 November 2000.32solusinya dalam ilham alkitabiah.7 J. B. Banawiratma mengatakan bahwa Komunitas Basis dimengerti sebagai komunitas akar rumput, pada umumnya terdiri dari kaum miskin, orangorang kecil.8Mengapa Komunitas Basis yang dipilih? Ada beberapa alasan yang mendasari pemilihan ini. Alasan pertama, pengembangan komunitas-komunitas basis ini didasarkan atas keyakinan bahwa daya hidup Gereja harus berasal dari basisnya. Magnis-Suseno mengatakan Komunitas Basis merupakan basis dan kenyataan Gereja, tanpa mereka tidak ada Gereja. Kalau mereka hidup sebagai orang Katolik, maka Gereja hidup, kalau mereka tidak berdaya sebagai orang Katolik, Gereja juga tidak berdaya. Gereja bukan sebuah organisasi [semata], melainkan paguyuban orang, dan ciri Gereja sebagai paguyuban menjadi nyata dalam Komunitas Basis.9 Alasan kedua, Komuntas Basis juga merupakan komunitas transformatif, karena melalui komunitas ini, anggota jemaat atau umat dibina untuk memiliki tekad merubah diri dan mengubah kondisi kehidupan dari tidak damai sejahtera menjadi lebih sejahtera, dari tidak mempunyai akses terhadap sumber hidup menjadi memiliki akses terhadap sumber kehidupan, dari tidak berdaya menjadi berdaya, dan dari tidak adil menjadi adil. Dengan kata lain komunitas ini merupakan komunitas transformatif, karena mengubah kehidupan bersama menjadi lebih manusiawi, adil, dan merdeka.10Refleksi yang dihasilkan dalam SAGKI 2000 membawa Gereja Katolik Indonesia pada titik kesadaran bahwa Gereja hidup dalam masyarakat yang beragam, maka secara prinsipiil proses pengembangan hidup menggereja yang baru diarahkan pada semangat keterbukaan lewat perjuangan kebenaran dan keadilan bagi seluruh masyarakat. Hal ini dapat dilakukan dengan cara mengembangkan komunitas-komunitas basis yang telah ada menuju pada komunitas bersama umat bergama lain dalam Komunitas Basis Intrareligius11. Inilah sikap dan pilihan yang telah diambil oleh Gereja Katolik Indonesia dalam rangka menjawab tantangan konteksRobert Hardawiryana, Cara Baru Menggereja di Indonesia 3 : Umat Kristen Awam Masa Kini Berevangelisasi Baru, (Yogyakarta : 2001), p.70. 8 J. B. Banawritama, 10 Agenda Pastoral Transformatif, Pemberdayaan Kaum Miskin dengan Prespektif Adil Gender, HAM, dan Lingkungan Hidup, (Yogyakarta : 2002), p.14. 9 Franz Magnis-Suseno, di Tahun 2000 Umat Katolik Indonesia Melihat ke Depan, dalam Spektrum XXIX (2001), No. 1 Sidang Agung Gereja Katolik Indonesia (SAGKI), p. 60. Kata dalam kurung ditambahkan oleh penulis sendiri. 10 FABC yang dikutip dalam KWI, Seri Pastoral 332 Memulihkan Martabat Manusia dan Alam Semesta, (Yogyakarata : 2002), p. 13. 11 J. B. Banawiratma, Hidup Menggereja yang Terbuka, dalam Gereja Indonesia, Quo Vadis? Hidup Menggereja Kontekstual, p. 193.73Indonesia yang penuh dengan kemiskinan dan keberagaman agama. Sikap dan pilihan inilah yang oleh J. B. Banawiratma dikatakan dengan sebutan hidup menggereja yang kontekstual12.1. 1. 2 Rumusan Permasalahan Jika dalam diri Gereja Katolik Indonesia telah dapat menentukan sikap dan mengambil pilihan yang tegas dalam rangka hidup menggereja yang kontekstual di Indonesia. Bagaimana dengan Gereja-Gereja Protestan di Indonesia? Bagaimanakah hidup menggereja yang ditunjukkan oleh Gereja-Gereja Protestan selama ini dalam rangka menanggapi konteks kemiskinan dan keberagaman agama di Indonesia ini?Tentunya sikap yang ditunjukkan sangat beragam, mengingat Gereja-Gereja Protestan di Indonesia terdiri dari berbagai macam denominasi yang berbeda-beda. Setiap denominasi gereja, bahkan setiap gereja lokal tentu memiliki kebijakan dan sikap sendiri dalam menanggapi situasi kemiskinan dan keberagaman agama. Gereja Kristen Jawa (GKJ) dengan Gereja Kristen Indonesia (GKI) tentu mempunyai sikap yang berbeda dalam menanggapi kemiskinan dan keberagaman agama, bahkan GKI Pondok Indah dengan GKI Purwodadi Grobogan tentunya juga tidak sama. Misalnya saja, dalam rangka menanggapi konteks kemiskinan, GKI Pondok Indah memiliki program Gerakan Orang Tua Asuh (GOTA) bagi anak-anak sekolah yang tidak mampu tanpa melihat latar belakang agama mereka dan ada program pelayanan kesehatan murah bagi masyarakat sekitar gereja. Sementara itu di GKI Purwodadi, program diakonia kesehatan dan pendidikan diberikan hanya bagi mereka yang menjadi anggota jemaat atau simpatisan GKI Purwodadi.Mengingat banyaknya denominasi Gereja Protestan di Indonesia, maka dalam rangka mencari tahu tentang gambaran hidup menggereja di tengah-tengah kemiskinan dan keberagaman agama yang telah dilakukan oleh Gereja Protestan, penyusun memilih GKI Purwodadi sebagai locus penelitian dan pembelajaran. GKI Purwodadi dipilih mengingat bahwa penyusun adalah anggota jemaat GKI Purwodadi. Dengan demikian rumusan masalah yang akan dibicarakan dalam skripsi ini adalah : a. Bagaimanakah hidup GKI Purwodadi di tengah-tengah konteks kemiskinan dan keberagaman agama?12J. B. Banawiratma, Hidup Menggereja yang Terbuka, dalam Gereja Indonesia, Quo Vadis? Hidup Menggereja Kontekstual, p. 192.4