INTEGRITAS KEPEMIMPINAN YESUS DALAM INJIL MARKUS DAN IMPLEMENTASINYA DALAM KEPEMIMPINAN PENDETA

Main Author: RINTA KURNIAWATI GUNAWAN
Other Authors: JUSAK TRIDARMANTO,
Format: Bachelors
Terbitan: SInTA - Unit Perpustakaan Universitas Kristen Duta Wacana (UKDW) Yogyakarta , 2006
Subjects:
Daftar Isi:
  • ABSTRAKSelain sebagai persekutuan orang-orang percaya, gereja dalam bentuknya adalah sebagai sebuah organisasi. Sebagaimana sebuah organisasi, maka gereja membutuhkan pemimpin. Bukan pemimpin yang bekerja dengan asal-asalan tetapi pemimpin yang sungguh-sungguh mengabdikan dirinya bagi kemajuan gereja tersebut. Oleh karena itu pola kepemimpinan gereja selalu menjadi suatu masalah yang penting1. Mengapa dikatakan penting sebagai sebuah masalah? Karena pada kenyataannya, masih banyak gereja yang belum benar-benar memikirkan bentuk kepemimpinan yang tepat bagi gerejanya. Masih banyak pemimpin gereja yang menjalankan kepemimpinannya secara tradisional sebagai satu-satunya pengambil keputusan, sebagai satu-satunya orang yang berkuasa dalam sebuah gereja. Dan sebagai suatu masalah, maka perlu segera dicarikan solusi yang tepat dan memadai. Dalam penulisan skripsi ini, kepemimpinan yang dimaksud adalah kepemimpinan seorang pendeta sebagai salah satu unsur pemimpin gereja. Jikalau tadi dikatakan seorang pemimpin gereja biasanya merupakan satu-satunya orang yang berkuasa di gereja itu, namun di lain pihak bisa terjadi ekstrem sebaliknya. Pendeta dianggap sebagai pembantu rumah tangga yang harus mampu menjalankan seluruh tugas-tugas yang ada di gereja. Dalam sebuah gereja tertentu, ketika selama beberapa tahun ia tidak memiliki pendeta, jemaatnya dikenal sebagai jemaat yang pro aktif dan mandiri. Seluruh kegiatan dapat berlangsung dengan baik meskipun tanpa campur tangan seorang pendeta (hanya ada pendeta konsulen). Tetapi anehnya, ketika ada seorang calon pendeta ditempatkan di sana, mendadak jemaat berubah 180 menjadi jemaat yang pasif. Hampir seluruh pekerjaan diserahkan pada si capen. Karena si capen tinggal di gereja, maka telepon gereja menjadi lebih sering berdering dan pekerjaan kantor tiba-tiba menumpuk, mulai dari menghubungi pembicara sampai mengecek perlengkapan badah. Nah, kalau sudah begini maka siapa yang harus disalahkan? Ataukah mungkin lebih baik bagi jemaat tersebut apabila selamanya tidak memiliki pendeta sehingga kemampuan mereka dapat terus dikembangkan? Pola kepemimpinan gerejawi berbeda dengan pola kepemimpinan dalam dunia usaha atau organisasi-organisasi lainnya, karena hakikat dan tujuannya pun berbeda. Kepemimpinan duniawi berbentuk hierarki dan selalu berorientasi pada kekuasaan. Semakin tinggi kedudukan seseorang, maka semakin besar kekuasaan yang dimilikinya. Dan biasanya, kekayaannya pun akan semakin meningkat seiring dengan kenaikan jabatan tersebut. Berbeda dengan pola yang semacam itu, kepemimpinan gereja adalah kepemimpinan yang berdasarkan Kristus; yang bercitra pada apa yang dilakukan Yesus selama hidupNya di dunia. Laurie Beth Jones mengungkapkan bahwa gaya kepemimpinan Yesus (dia menyebutnya dengan gaya manajemen) merupakan perpaduan dari gayagaya kepemimpinan yang telah ada sekarang ini. Pertama adalah gaya manajemen yang didasarkan pada penggunaan kekuatan yang otoritatif. Sedangkan yang kedua adalah yang didasarkan pada penggunaan kekuasaan yang kooperatif. Ia begitu yakin bahwa Yesus adalah pemimpin yang teragung. Yesus memiliki manajemen yang memadukan dan mengatasi yang terbaik dari kedua gaya kepemimpinan tersebut. Jones sangat mengagumi gaya kepemimpinan Yesus karena Ia berhasil melatih dua belas orang manusia biasa menjadi orang-orang yang dapat memberikan pengaruh begitu kuat pada dunia di waktu-waktu yang kemudian3. Jones sebagai salah satu orang yang menulis buku tentang teladan kepemimpinan Yesus membuktikan bahwa sebenarnya kesadaran tentang pentingnya perubahan pola kepemimpinan, terutama dalam lingkup gereja, sudah mulai nampak bahkan jauh sebelum penulisan bukunya. Namun sayangnya kesadaran tersebut masih terbatas pada wacana saja sehingga belum banyak gereja yang mempraktekkannya. Mereka masih bertahan pada status quo dan enggan untuk mencoba sesuatu yang baru. Ketahanan pada status quo ini tentunya dipengaruhi oleh banyak faktor. Kita tidak akan membahas faktor-faktor itu di sini, tetapi penulis hanya akan menyebutkan beberapa diantaranya. Pertama, masih banyak pemimpin gereja yang senang dihormati sebagai pemimpin tunggal dalam sebuah gereja. Kalau ia menjalankan pola kepemimpinan yang baru, tentu posisi itu akan tergeser dari dirinya. Kedua, jemaat sudah terlalu lama menggantungkandirinya pada pemimpin gereja sehingga mereka tidak sadar bahwa sebenarnya secara tidak langsung mereka sedang dibodohi. Atau jika mereka sadar pun, mereka enggan untuk mengadakan transformasi karena mereka sudah merasa nyaman dengan situasi demikian. Dan masih banyak factor lainnya.