PENDAMPINGAN PASTORAL TERHADAP TERPIDANA MATI ( SUATU STUDI KASUS )
Main Author: | MAYA SERLI ADIYANTI TANEO |
---|---|
Other Authors: | J B GIYANA BANAWIRATMA, |
Format: | Bachelors |
Terbitan: |
SInTA - Unit Perpustakaan Universitas Kristen Duta Wacana (UKDW) Yogyakarta
, 2006
|
Subjects: |
Daftar Isi:
- ABSTRAKManusia dianugerahi oleh Tuhan akal budi dan nurani, yang memberikan kepadanya kemampuan untuk membedakan yang baik dan yang buruk, serta membimbing dan mengarahkan sikap dan perilaku dalam menjalani kehidupannya. Manusia memiliki kebebasan untuk memutuskan sendiri perilaku atau perbuatannya, serta mempunyai kemampuan untuk bertanggungjawab atas semua tindakan yang dilakukannya. Namun perlu diingat, sepanjang sejarah tidak pernah ada kebebasan mutlak, yang ada hanyalah kebebasan bersyarat yang dibatasi secara wajar. Memang setiap orang mempunyai kebebasan berpikir dan tidak ada satu kekuasaan pun di dunia ini yang mampu membatasinya. Kebebasan berpikir itu akan berubah artinya apabila ada kebebasan untuk mengemukakannya kepada orang lain, karena mulai melibatkan dunia di luar diri sendiri. Sekalipun ada kebebasan berpikir dan mengemukakan kepada orang lain, kebebasan itu kurang lengkap artinya apabila tidak ada kebebasan berbuat. Tetapi jika kebebasan berbuat itu tidak dibatasi secara wajar, akan menimbulkan kekacauan sebab kebebasan diri sendiri akan bersentuhan dengan kebebasan orang lain. Karena itu lahirlah hukum, dengan salah satu fungsinya untuk membatasi kebebasan manusia secara wajar agar tidak terjadi pemberontakan antara berbagai kebebasan. Telah diatur dalam Undang-Undang Dasar 1945 dan Undang-Undang tentang Hak Asasi Manusia bahwa setiap orang berhak untuk hidup, mempertahankan hidup, dan meningkatkan taraf kehidupannya. Akan tetapi dalam upaya meningkatkan taraf hidup itu, secara nyata terdapat orang tertentu yang didorong oleh keinginan di luar batas kendali bahkan hawa nafsu yang menggebu disertai suatu peluang, yang membuatnya menempuh berbagai jalan pintas dengan menghalalkan berbagai cara untuk menggenapi niatnya. Pencurian dan pembunuhan dapat dilakukan terhadap orang lain bahkan pada keluarga, sanak saudara, ataupun handai taulan yang dimungkinkan oleh rasa dendam, tekanan ekonomi, kecemburuan sosial. Sudah tentu, tanggung jawab atas tindakan kriminal yang dilakukannya adalah menerima hukuman yang setimpal, dapat dijatuhi hukuman pidana sekian tahun atau seumur hidup bahkan hukuman mati terhadap pelaku pembunuhan berencana. Memang hukum pidana dianggap perlu untuk menjaga agar ketentuan-ketentuan hukum seperti yang terdapat dalam hukum perdata, dagang, tata negara, ditaati. Perlu ada sanksi terhadap pelanggaran hukum tersebut. Oleh karena itu, hukum pidana sering disebut sebagai hukum sanksi yang istimewa. Ia mengatur tentang perbuatan-perbuatan apa yang diancam pidana dan dimana aturan pidana itu menjelma.1 Keputusan pidana sebagai suatu nestapa kepada pelanggar hanya merupakan obat terakhir, yang hanya dijalankan jika usaha-usaha lain seperti pencegahan sudah tidak berjalan. Salah satu bentuk hukuman yang paling berat di dalam hukum pidana adalah hukuman mati atau pidana mati. Ada pembela pidana mati yang mengatakan pidana mati itu perlu untuk menjerakan dan menakutkan penjahat dan relatif tidak menimbulkan sakit jika dilaksanakan dengan tepat. Yang menentang pidana mati antara lain mengatakan bahwa pidana mati dapat menyebabkan ketidakadilan, pelaksanaannya jauh daripada tidak menimbulkan sakit dan tidak efektif sebagai penjera, karena sering kejahatan dilakukan disebabkan oleh panas hati dan emosi yang diluar jangkauan kontrol manusia.2 Pidana mati ini menimbulkan pro dan kontra dari banyak pihak. Meskipun demikian, pidana mati ini masih tetap tercantum dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang diwarisi dari pemerintah kolonial, dan tetap demikian ketika dinasionalisasikan dengan Undang-Undang Nomor 1 tahun 1946. Memang benar, Hak Asasi Manusia (HAM) untuk hidup telah dijunjung tinggi sehingga denganamandemen Undang-Undang Dasar 1945 telah diatur dalam Bab tersendiri yaitu Bab XA Pasal 28A, yang berbunyi: Setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya.4 Dalam uraian tentang perlindungan dan jaminan HAM di masa depan, menurut Dr. Adnan Buyung Nasution, ada lima program pokok yang perlu dilakukan. Salah satu program adalah, melakukan inventarisasi, mengevaluasi dan mengkaji seluruh produk hukum, KUHP dan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang berlaku, yang tidak sesuai dengan HAM. Baginya, banyak sekali pasal-pasal dalam berbagai Undang-Undang yang tidak sesuai dengan, bahkan bertentangan dengan HAM.5 Dalam hal ini ada usaha untuk meniadakan hukuman mati tersebut. Namun sampai saat ini usaha itu belum membuahkan hasil bahkan semakin banyak orang yang dijatuhi hukuman mati. Secara hukum, pemerintah mempunyai wewenang untuk menjatuhkan hukuman mati kepada mereka yang telah melakukan pembunuhan berencana. Namun tidak berarti mereka yang dijatuhi hukuman tersebut terpisah dari perhatian agama, atau bahkan agama pun turut menghukum mereka karena apa yang telah dilakukan bertentangan dengan hukum agama yaitu membunuh. Kisah Gerson Pandie, Fredik Soru dan Dance Soru, ke tiga terpidana mati di Kupang-Nusa Tenggara Timur yang selama 12 tahun, berada dalam penderitaan batin yang teramat berat karena hidup dalam ketidakpastian eksekusi mati atas diri mereka, telah memperlihatkan salah satu sisi kerapuhan seorang manusia. Dengan kondisi seperti ini, gereja sebagai salah satu lembaga agama, mempunyai dan mendapat tanggung jawab memberi pelayanan rohani bagi umatnya bagaimanapun keadaannya. Gereja berperan sebagai wakil Allah untuk membawa umatnya kepada pengenalan akan Allah yang Maha Pengasih dan Maha Pengampun. Agar sampai ke dalam pengenalan akan Allah, maka pelayanan rohani yang diberikan oleh gereja tidak hanya cukup bersifat dan berlaku umum, tetapi sebaiknya bersifat khusus. Disinilah pendampingan pastoral berperan penting. Pendampingan dan konseling pastoral adalah alat-alat yang berharga yang melaluinya gereja dapat menyampaikan berita Injil berupa penyembuhan, penguatan, penghiburan, kepada orang yang bergumul dalam alienasi (keterasingan) dan keputusasaan.7 Para terpidana mati patut diberi pelayanan rohani secara khusus melalui pendampingan pastoral dengan meneladani pekerjaan Yesus Kristus, Gembala Yang Baik (Yohanes 10). Dalam ayat 3 dan yang berikut, Yohanes melukiskan bagaimana sikap Gembala yang baik itu terhadap domba-dombanya. Ia bukan saja menjaga dan melindungi domba-domba yang Ia gembalakan, Ia juga adalah Gembala yang meninggalkan sembilan puluh sembilan ekor di padang gurun dan pergi mencari seekor yang sesat sampai Ia menemukannya.8 Satu hal lain yang terlihat dalam pelayanan Yesus sebagai Gembala ialah bahwa Ia secara pribadi bergaul dengan orang-orang yang Ia temui. BagiNyasetiap orang mempunyai hidupnya sendiri dan setiap orang hidup dalam situasinya sendiri. PergaulanNya dengan manusia berlangsung berdasarkan kebutuhan konteks hidup manusia. Pelayanan Yesus adalah pelayanan yang Person centered sebagaimana yang diungkapkan oleh penginjil Yohanes seperti berikut: Gembala yang baik mengenal dombadombaNya dan domba-dombaNya mengenalNya (Yohanes 10:14, 27). Yesus datang bukan untuk mereka yang sehat dan bijaksana, tetapi kepada mereka yang sakit yang berdosa dan yang hilang. Sudah barang tentu Yesus Kristus juga telah menderita demi orang yang terpenjara, supaya kesempatan terbuka baginya untuk memulai hidup baru lepas dari keterkungkungan dosa. Dosa dan penebusan secara prinsipial tidak berbeda di dalam dan di luar Lembaga Pemasyarakatan (Lapas), bagaimanapun perbedaan bentuk-bentuk penampilannya. Persekutuan orang-orang percaya merangkul semua orang Kristen, di dalam dan di luar Lapas. Orang-orang yang kena hukum, para penjahat, pelayan pastoral, buat mereka semua berlaku berita kesukaan tentang pengampunan! Oleh karena pelayanan pastoral dalam Lembaga Pemasyarakatan (Lapas)memandang orang penjara sebagai orang yang dikasihi Allah, maka pelayanan tersebut harus selalu memperhatikan seluruh hidupnya secara utuh.10 Patut diakui bahwa terpidana mati berbeda dengan terpidana umum, demikian berbeda pula metode pelayanan pastoral yang diterapkan. Terpidana umum memiliki ruang waktu yang lebih panjang disbanding terpidana mati, dengan kesempatan waktu hidup yang sangat singkat berkaitan dengan pelayanan pastoral yang harus dilakukan.