Konsep Makna Hidup Berumah Tangga (Desain Kurikulum Pembinaan Pra-Nikah di GKI Guntur)

Main Author: ESTHER SETIANINGRUM
Other Authors: WAHYU SATRIA WIBOWO,
Format: Bachelors
Terbitan: SInTA - Unit Perpustakaan Universitas Kristen Duta Wacana (UKDW) Yogyakarta , 2006
Subjects:
Daftar Isi:
  • ABSTRAKSISejarah perbedaan gender (gender differences) antara manusia laki-laki dan perempuan terjadi melalui proses yang sangat panjang. Kata gender berasal dari kata genus yang berarti jenis atau tipe, dikemudian hari diartikan sebagai jenis kelamin, yaitu pembedaan antara lakilaki dan perempuan yang dibentuk melalui proses sosial dan budaya yang panjang. Dengan kata lain, jender adalah peran dan kedudukan seseorang yang dikonstruksikan oleh masyarakat dan budayanya karena seseorang lahir sebagai laki-laki dan seseorang lahir sebagai perempuan. Bayi yang baru lahir dengan jenis kelamin tertentu misalnya laki-laki dikontruksikan, diberi pemahaman oleh masyarakat bahwa laki-laki itu akan menjadi kepala keluarga. Dia akan menjadi pencari nafkah, menjadi orang yang menentukan. Demikian pula dengan bayi yang lahir dengan jenis kelamin perempuan. Bayi perempuan akan diberi pemahaman oleh budaya dan masyarakat sebagai ibu rumah tangga, sebagai istri, sebagai orang yang dilindungi dan sebagainya. Jadi, kedudukan kepala keluarga, seperti juga kedudukan ibu rumah tangga bukan datang dengan sendirinya tetapi diberikan oleh masyarakat1. Akibat yang paling jelas terasa dari pemahaman mengenai pandangan ini ada dalam kehidupan rumah tangga. Biasanya suami lebih dihormati oleh anggota keluarga yang lain bahkan suamilah yang disebut sebagai kepala keluarga. Peran seorang istri dalam keluarga nampaknya kurang diperhatikan dan dihargai. Bahkan dalam budaya Jawa misalnya istri dikenal sebagai konco wingking (teman di belakang) dari sang suami, artinya bahwa tugas istri sebatas mengurusi urusan dapur dan keperluan rumah tangga lainnya. Dalam pemahaman budaya ini, seorang istri berkewajiban mengurus rumah tangganya, dan walaupun suaminya yang menjadi kepala keluarga, suami itu lebih mengutamakan hal-hal yang terjadi diluar rumah tangga dan jarang sekali menaruh perhatian pada masalah seharihari rumah tangganya2. Konsep dan makna hidup berumah tangga seperti inilah yang masih dipegang orang sampai saat ini yaitu konsep patriarkal di mana suami atau laki-laki menjadi kepala keluarga,1Yufita Rahardjo,Seksualitas Manusia dan Masalah Gender dalam Seksualitas, Kesehatan Reproduksi dan Ketimpangan Gender (Seri Kesehatan Reproduksi, Kebudayaan dan Masyarakat), Jakarta, Pustaka Sinar Harapan, 1996, hlm 260. 2 Koentjaraningrat, Kebudayaan Jawa, Balai Pustaka, Jakarta, 1994, hlm 145.penanggung jawab kehidupan rumah tangga sekaligus pencari nafkah. Sedangkan istri atau perempuan yang mengurusi rumah tangga (memasak, mencuci, dan lain sebagainya), melayani suami dan terutama merawat anak-anak. Namun makin berkembangnya kemajuan zaman yang disertai bertambahnya jumlah wanita yang mempunyai keterampilan dalam bidang tertentu serta adanya kesempatan dalam masyarakat untuk aktif mengisi berbagai peranan, membuat wanita merasa tidak puas dengan hanya menjadi istri dan ibu tumah tangga. Artinya ketika perempuan mempunyai kesempatan untuk memperoleh pendidikan setinggi-tingginya dan kesempatan untuk mengekspresikan dirinya lewat pekerjaan, maka setidaknya peran istri menjadi tidak lagi dapat dilaksanakan dengan baik lagi. Dalam arti peran seorang istri untuk melayani suaminya bahkan untuk mengurusi rumah tangganya tidak lagi dapat dilaksanakan dengan baik karena kesibukan pekerjaannya. Salah satu akibat lain dari realita ini adalah pada anak-anaknya kelak. Dengan hadirnya seorang anak, tentu masalah akan bertambah pula, termasuk masalah ekonomi, yang berarti bertambahnya pengeluaran yang harus pula diimbangi dengan pemasukan yang lebih besar, sedangkan sumber nafkah biasannya justru berkurang, karena istri mengurangi waktu bekerjanya untuk mengurus dan merawat anak. Untuk mengatasi hal ini biasanya pasangan suami-istri memutuskan untuk bekerja. Sedangkan tugas mengasuh dan merawat anak diserahkan pada pengasuh. Dengan demikian maka pendidikan keluarga di rumah menjadi tidak berjalan dengan baik3. Selama ini dalam pembinaan pra-nikah yang dilaksanakan di Wilayah Klasis Bandung, terutama di GKI Guntur, Bandung, belum ada materi yang secara khusus berbicara mengenai hal tersebut. Ketika menjelaskan konsep dan makna pernikahan, dasar Alkitabiah yang dipakai sebagai landasan teologisnya adalah Efesus 5 : 22-23 di mana suami atau kaum lakilaki menjadi lebih tinggi kedudukannya dan istri atau kaum perempuan hanya sebatas teman yang harus menurut dan tunduk pada suami4 di samping materi lain berupa pemahaman dasar mengenai makna pernikahan kristiani, pernikahan dari sudut pandang hukum, psikologi dan seksualitas. Menurut penyusun ini sudah tidak sesuai lagi dengan realita yang ada di mana perempuan pun punya kesempatan untuk lebih maju dari laki-laki, baik dalam hal pendidikanDra.Ny. Singgih D Gunarsa, Psikologi Untuk Keluarga, BPK Gunung Mulia, Jakarta, 2003, hlm 29. Pdt. Jimmy Mc Setiawan, Kumpulan Karangan, 25 Tahun Pelayanan di GKI Guntur Bandung, Bandung, Bina Media Informasi, 2004, hlm 77.4 3maupun pekerjaan apalagi di kota besar di mana persaingan antara laki-laki dan perempuan lebih bebas dan terbuka.