PENDAMPINGAN PASTORAL BAGI PASANGAN SUAMI-ISTERI YANG BERBEDA AGAMA
Main Author: | WAHYUKI CHRISTIANINGRUM |
---|---|
Other Authors: | KESS DE JONG, |
Format: | Bachelors |
Terbitan: |
SInTA - Unit Perpustakaan Universitas Kristen Duta Wacana (UKDW) Yogyakarta
, 2006
|
Subjects: |
Daftar Isi:
- ABSTRAKPernikahan diartikan sebagai suatu ikatan lahir batin antara seorang pria dan wanita, yang bersama-sama menjalin hubungan sebagai suami-isteri dengan tujuan membentuk rumah tangga yang bahagia dan kekal. Pada zaman dahulu masyarakat tidak dipusingkan dengan masalah pernikahan sejauh hal itu dilangsungkan antara dua manusia berlainan jenis, namun permasalahan mulai muncul ketika manusia mulai melihat pernikahan itu dalam hubungan dengan ajaran agamanya. Hal ini juga berlaku dalam konteks Indonesia. Sebagaimana kita ketahui, Indonesia adalah bangsa yang plural. Berbagai macam adat-istiadat, latar belakang sosial dan agama ada di negara ini. Hal ini membuat setiap kelompok, apapun itu (suku, latar belakang sosial, agama) tidak dapat hidup terpisah antara yang satu dengan lainnya, hal ini sedikit banyak juga memberikan pengaruh dan mengakibatkan tidak sedikit pasangan yang menikah itu berasal dari dua latar belakang yang berbeda khususnya berbeda agama. Sikap negara terhadap sahnya pernikahan beda agama masih dianggap belum jelas meskipun telah ada undang-undang yang mengatur, yaitu dalam Undang-Undang Republik Indonesia no.1 tahun 1974. Banyak orang yang menikah berbeda agama dianggap melangkahi hukum hal ini disebabkan karena ketika akan melangsungkan pernikahan mereka mendapat penolakan dari kantor catatan sipil sebagai lembaga pencatatan pernikahan dan yang berhak mengeluarkan akta pernikahan mereka, hal ini disebabkan karena pada pasal 2 Undang-Undang Perkawinan no. 1 tahun 1974 dikatakan Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masingmasing agamanya dan kepercayaannya itu1 Artinya adalah bahwa pihak yang akan melangsungkan perkawinan harus berasal dari agama yang sama jika tidak maka perkawinan tersebut tidak dapat dilangsungkan kecuali jika salah satunya ikut menganut agama pihak yang lain. Hal mengenai Pernikahan berbeda agama ini pun telah menjadi pergumulan gereja-gereja di Indonesia, termasuk GPIB, yakni pada dialog PGI KWI di Malang pada tanggal 12-14 Maret 1987, yang memutuskan bahwa pernikahan berbeda agama tidak dapat diberkati di gereja meskipun dalam gereja katolik dapat saja diberikan dispensasi dan diberkati menurut tata peneguhan kanonik. Pernikahan yang dilakukan dengan latar belakang yang sama-pun ternyataSution Usman Adji, S.H, Kawin Lari dan Kawin Antar Agama, Yogyakarta: Liberty, cet. Kedua, September 2002, p.171tidak menutup kemungkinan untuk menimbulkan permasalahan didalamnya apalagi jika perkawinan tersebut dilangsungkan oleh dua orang dari latar belakang yang berbeda, akan banyak permasalahan dan benturan yang terjadi di dalamnya. Pada awalnya pernikahan itu dilakukan karena kedua insan yang saling mencintai, namun setelah menjalani kehidupan rumah tangga ternyata tidak semulus yang diharapkan. Kehadiran seorang anak yang seharusnya menjadi tanda kebahagiaan bagi keluarga ternyata malah akan semakin meperkeruh suasana, karena suami-isteri yang memiliki perbedaan keyakinan akan sulit, bahkan terkadang saling berebut menentukan kemana arah keyakinan sang anak nantinya (apakah mengikuti ayah ataukah Ibu). Tidak jarang pernikahan yang dilakukan dari kedua pasangan yang berbeda agama memicu perselisihan di antara keluarga kedua belah pihak.