KONSEP PELAYANAN DALAM SURAT FILIPI DAN RELEVANSINYA BAGI PELAYANAN GEREJA DEWASA INI
Main Author: | LAMHOT PARDAMEAN PURBA |
---|---|
Other Authors: | JUSAK TRIDARMANTO, |
Format: | Bachelors |
Terbitan: |
SInTA - Unit Perpustakaan Universitas Kristen Duta Wacana (UKDW) Yogyakarta
, 2008
|
Subjects: |
Daftar Isi:
- BAB I PENDAHULUANA. PERMASALAHAN A.1. Latar Belakang MasalahSesuai dengan hakekat keberadaan Gereja sebagai yang diutus oleh Kristus ke dalam dunia, maka gereja mempunyai hakekat yang unik sebagai berikut :Pertama, gereja itu asalnya dari Tuhan. Maksudnya adalah kekuasaan tertinggi di dalam gereja ada pada Kristus (Kristokrasi), yang memerintah gereja dengan firman dan Roh-Nya. Para pemimpin atau pejabat di dalam gereja tidak lebih dari pelaksana saja, yang sepenuhnya harus tunduk dan patuh pada Kitab Suci. Kedua, gereja berada di dalam dan diutus ke dalam dunia sebagai garam dan terang dunia walaupun diutus dan ditempatkan ke dalam dunia, gereja tidak selalu disambut dengan ramah tamah. Ketiga, panggilan gereja terhadap dunia adalah menjadi saksi Injil Kristus. Visi dasar panggilan gereja mengenai pekabaran Injil bersangkut paut dengan perjuangan untuk mewujudkan keadilan, perdamaian, dan keutuhan ciptaan. 1Hakekat yang unik itulah yang membuat gereja terus melangkah di dalam memberitakan Firman Allah di tengah-tengah dunia ini. Untuk itu gereja selalu dituntut dapat menyesuaikan dirinya dengan kondisi dunia. Oleh karena itulah maka gereja itu dituntut untuk kreatif dan dinamik, bukan yang introvert dan eksklusif. Gereja bukan penonton dalam degup pembangunan bangsa. Gereja bukan penumpang tanpa karcis dalam gerbong Negara Kesatuan Republik Indonesia, tetapi gereja adalah bagian integral dari bangsa ini. komunitas kristen telah berperan dalam sejarah sejak tahap-tahap awal pembentukan negara Indonesia.Dalam mewujudkan kehadiran gereja di tengah-tengah dunia itulah, maka gereja harus mampu mengembangkan Tri Tugas Panggilan Gereja, yaitu dari segi etika (Diakonia) panggilan dan pengutusannya, dalam keseimbangan dengan segi persekutuan (Koinonia) dan ritual (Marturia), baik dalam kehidupan bergereja dan bermasyarakat. Etika yang dimaksud disini sifatnya inklusif, tidak terbatas pada lingkungan gereja sendiri tetapi dapat menjangkau siapa saja yang membutuhkan uluran tangan gereja; tanpa terkecuali.1Zakaria J. Ngelow. Gereja dan Kontekstualisasi. (Jakarta, Yayasan Wahana Dharma Nusa 1998). hal 10-11.1Gereja yang melayani adalah gereja yang tidak hanya dikungkung oleh tembok-tembok pembatas. Artinya gereja dalam melakukan pelayanan di dunia ini jangan melihat siapa yang ditolongnya, apa latar belakangnya, seiman atau tidak, atau hal-hal yang lainnya. Gereja harus bisa lepas dari kungkungan itu. Gereja harus bisa melayani semua orang tanpa terkecuali. Itu merupakan sebuah kewajiban yang semestinya dilakukan oleh gereja.Atas dasar itu semua, maka gereja perlu memiliki wawasan dasar tentang pelayanan gereja. Konsep pelayanan gereja itulah yang perlu dibangun oleh gerejagereja agar kembali kepada sumbernya yaitu Alkitab. Pandangan tentang pelayanan seperti ini akan sangat bermanfaat bagi gereja dalam menentukan model atau bentuk pelayanannya yang konkret dalam kehidupan sehari-hari. Oleh sebab itu, dengan menggali konsep pelayanan yang benar dapat menolong gereja hadir di tengahtengah kehidupan dunia menjadi sebuah kebutuhan yang penting.2