BELAJAR DARI KARYA PENDIDIKAN ROMO F. VAN LITH
Main Author: | PARNOMO SIDI |
---|---|
Other Authors: | J B GIYANA BANAWIRATMA, |
Format: | Bachelors |
Terbitan: |
SInTA - Unit Perpustakaan Universitas Kristen Duta Wacana (UKDW) Yogyakarta
, 2006
|
Subjects: |
Daftar Isi:
- ABSTRAKSISiang itu sekitar pukul 11.00 di saat anak-anak seusianya sibuk belajar dan bermain di sekolah, Sarminto (13) warga Dukuh Bono, Desa Jiwan, Kecamatan Karang nongko Klaten sedang menuntun sepeda onthel bermuatan tiga buah jerigen plastik kapasitas masing-masing 20 liter. Ia menuju sumur pantek untuk mengambil air bersih. Setiap hari ia bertugas mengambil air bersih dua kali. Air ini dimanfaatkan untuk minum dan memasak. Tugas ini dilakukan untuk membantu orang tuanya seorang buruh. Sedangkan Sarminto masih memiliki dua adik yang membutuhkan pendidikan SD. Saya tidak sekolah, karena orang tua tidak mampu, kata Sarminto, ketika ditanya mengapa tidak sekolah. Ia mengaku lulus SD tahun lalu dan tidak melanjutkan sekolah karena orang tua tidak mampu. Sejak tamat dari SD Jiwan Ia beralih pada kesibukan rutinitas membantu orang tua. Sarminto adalah sosok bocah yang seharusnya di masa ini bisa menikmati bangku belajar dan bangku bermain di sekolah. Tetapi karena orang tuanya yang tidak mampu membiayai dirinya ke SLTP maka saat ini ia berada di rumah membantu orang tuanya. Selain kasus Sarminto yang tidak mampu membiayai studi lanjut, ada kasus lain yang kian meningkat terutama di daerah Klaten yaitu kasus DO (drop out) dari sekolah, hal ini diakibatkan rendahnya tingkat ekonomi keluarga serta tingginya biaya pendidikan. Data dari GNOTA ( Gerakan Nasional Orang Tua Asuh) Klaten di tahun 1995 ada 30.000 anak membutuhkan donor supaya tidak DO. Akibat krisis yang berkepanjangan di penghujung tahun 2004 data ini semakin berkembang menjadi 90.000 anak.1 Sampel yang demikian kita jumpai hanya di Klaten, coba kita bayangkan kalau angka yang di Klaten ini kita jumlahkan dengan angka-angka yang ada di seluruh pelosok negeri maka sekian juta anak membutuhkan uluran tangan kita. Demikianlah dampak langsung yang bisa dirasakan oleh anak-anak akibat kemiskinan itu. Banyak seminar dan diskusi dilakukan, program intervensi dirancang dan dana dialokasikan untuk menangani masyarakat miskin. Usaha-usaha ini sebenarnya merupakan perwujudan kepedulian. Tak dapat dipungkiri banyak para ilmuwan sosial dan politik bersuara lantang tentang perlunya usaha serius untuk mengatasi kemiskinan sturktural. Karena dirasakan akibat dari penindasan struktural maka memungkinkan orang miskin semakin tidak memiliki akses sosial-ekonomi guna meningkatkan taraf kehidupannya. Salah satu program yang digemborkan untuk mengentaskan kemiskinan adalah pendidikan. Pendidikan dipercaya sebagai wahana untuk memperluas akses dan mobilitas sosial dalam masyarakat. Pendidikan banyak dipahami sebagai wahana untuk menyalurkan ilmu pengetahuan, alat pembentukan watak, alat mengasah otak, serta media untuk meningkatkan ketrampilan kerja. Pendidikan lebih diyakini sebagai suatu media atau wahana untuk menanamkan nilai-nilai moral dan ajaran keagamaan, alat pembentukan kesadaran bangsa, alat1Ibid, p. 9meningkatkan taraf ekonomi, alat mengurangi kemiskinan, alat mengangkat status sosial dan media untuk menguak rahasia alam semesta. Pendidikan juga bisa dipahami sebagai usaha untuk menciptakan keadilan sosial, wahana memanusiakan manusia, serta wahana untuk pembebasan manusia. Pada saat semangat peningkatan peran pendidikan bagi kaum lemah mulai membumbung dan ramai didiskusikan, ternyata malah kian marak isu dana bocor dalam bidang pendidikan. Kasus korupsi tidak hanya terjadi di kalangan elit politis, namun juga elit pendidikan. Bocornya uang banyak terjadi di managemen pendidikan. Banyak sekolah memeras peserta didik dengan keharusan membayar uang seragam. Pembelian buku wajib yang ditentukan dan difasilitasi oleh sekolah dengan dalih mempermudah pembelajaran. Padahal pihak sekolah tersebut bekerja sama dengan penerbit buku dan mendapat banyak keuntungan dari sini. Berbagai diskon dan hadiah dari penerbit menjadi trend di sekolah-sekolah yang bekerja sama dengan penerbit buku. Malah ada kota yang mana pengadaan buku pelajaran diatur oleh Bupati dan Wali kota setempat.2 Saat ini pendidikan telah dikomersialisasikan. Dengan kata lain pendidikan telah menjadi komoditi bagi mereka yang telah memiliki uang dan mampu membayar pendidikan. Bagi mereka yang mampu tentunya akan menikmati pelayanan dan mutu pendidikan yang sesuai dengan keinginan. Sementara bagi mereka yang tidak mampu untuk membayar pendidikan tentunya tidak akan mendapat akses pelayanan pendidikan. Pendidikan saat ini malah mengancam manusia itu sendiri.3 Di tengah berbagai permasalahan pendidikan yang carut marut ini beberapa institusi pendidikan Kristen di lingkungan Jawa Tengah nampaknya malah berlomba-lomba menaikkan biaya pendidikan dengan motifasi demi profesionalitas pelayanan pendidikan. Dari anggaran yang tinggi ini nampaknya sekolah Kristen tidak memberi kesempatan bagi yang miskin untuk dapat menikmati pendidikan pada lembaga pendidikan Kristen. Jadi seolah-olah sekolah Kristen yang merupakan wajah dari sarana pelayanan Kristen yang terbuka untuk semua kalangan tidak mau tahu dengan kondisi lingkungan di mana ia tinggal. Malah ada salah satu sekolah Kristen di Yogyakarta siswa-siswanya mendemo kepala sekolahnya karena diduga terlibat korupsi, sehingga kepala sekolah tersebut diberhentikan.4 Beberapa sekolah Kristen yang ada di Semarang sekarang menaikkan biaya pendidikan karena sekolah ini butuh prasarana kenyamanan belajar. Ruang ber-AC menjadi tuntutan utama untuk meningkatkan konsentrasi siswa-siswinya dalam menyerap pelajaran.5 Bukan keramahan lingkungan yang dibangun tetapi ketergantungan mempergunakan teknologi yang ditumbuh kembangkan.NAR, Sekolah Cenderung Tidak Diberdayakan-Dalam Pengadaan Buku Pelajaran dalam Kompas, 13 April 2005, p. 9 3 Francis Wahono, Kapitalisme Pendidikan, p. 11 4 Cerita dari guru dan alumni salah satu SMU Kristen di Yogyakarta. 1 Desember 2004. 5 Ari dan Ika, Berlomba Menciptakan Sekolah Unggulan dalam Kompas, 2 April 2005, p. 152Lembaga sekolah Kristen di atas nampaknya sudah tidak lagi memperhatikan inspirasi Kristennya. Tugas dan panggilan untuk mewujudkan nilai Kerajaan Allah hanya sebatas wacana teori. Inspirasi Kristiani hanya menjadi logo tanpa penghayatan yang mendalam. Lembaga pendidikan Kristen yang dicontohkan tadi seharusnya secara tegas menentukan keberpihakan sosial tetapi malah mendukung struktur-struktur yang tidak adil dalam masyarakat atau tidak memanfaatkan perannya untuk mengkritik atau juga menempatkan kajian dan usulan tentang model-model masyarakat yang baru. Lembaga pendidikan Kristen ini nampaknya semakin berpartisipasi mendukung nilai anti Kerajaan Allah atau realitas kejahatan. Lembaga pendidikan kekristenan yang demikian nampaknya sudah kehilangan kekritisannya terhadap praktek yang membelenggu, menindas dan menyembunyikan ketidakbenaran. Eksistensi yang demikian tidaklah cocok dengan ideal Injil, dan lebih menjauhkan diri dari dunia lapisan bawah di mana tuntutan Kerajaan Allah dapat paling jelas dipahami. Berpihak pada orang bawah dan tertindas hanya sebagai slogan, program dan wacana, pada kenyataan nampaknya lebih dominan menjauhkan diri dengan orang miskin karena orang miskin dianggap tidak tidak menguntungkan.