MEMAKNAI KEKERASAN TUHAN DAN KEKERASAN MANUSIA: SEBUAH INTERPRETASI KISAH PEMUSNAHAN SODOM DAN GOMORA

Main Author: SETIAWAN HARTANTO
Other Authors: EMMANUEL GERRIT SINGGIH,
Format: Bachelors
Terbitan: SInTA - Unit Perpustakaan Universitas Kristen Duta Wacana (UKDW) Yogyakarta , 2005
Subjects:
Daftar Isi:
  • BAB I PENDAHULUAN1.1 Latar Belakang Ketulusan seorang manusia untuk mengabdikan diri kepada Tuhan, sering menjadikan manusia tersebut tidak peduli dengan keberadaan sesamanya, bahkan juga dengan dirinya sendiri. Untuk Tuhan, manusia sering dituntut untuk mengorbankan dirinya. Namun, justru ironis pada saat manusia memahami Tuhan seperti itu, hal tersebut digunakan sebagai pemicu konflik. Dengan agama maka diharapkan manusia dapat juga mengenal dan menghayati akan Tuhan. Pemeluk agama meyakini bahwa fungsi utama agama yang diimaninya ialah memadukan kehidupan manusia agar memperoleh keselamatan di dunia dan di akhirat nanti. Seseorang atau sekelompok penganut agama merasa terikat dengan hubungan rohani yang kuat dengan agamanya, sehingga ia siap berkorban untuk yang dijunjungnya. Kekerasan semacam inilah yang pada saat ini mulai terasa pada saat memasuki milenium ke tiga. Kita dapat melihat dengan jelas peristiwa ketika siaran TV di seluruh dunia menyajikan tayangan yang luar biasa mengenai serangan terhadap World Trade Center (WTC) dan Pentagon pada 11 September 2001 yang menjadi puncak kekerasan. Lalu diikuti dengan serangan yang tidak kalah ngeri nya yang dilakukan Amerika terhadap Afghanistan. Dengan pencarian Osama bin Laden dengan jaringan Al-Qaeda yang juga justru menelan lebih banyak korban di Afghanistan Meskipun sebelum tragedi ini sudah banyak kekerasaan yang terjadi berkaitan dengan ideologi dan agama. 1Tragedi 11 September menjadi titik balik munculnya gerakan keagamaan. Fundamentalisme, meskipun secara harafiah arti kata ini nampak lebih positif yaitu: orang atau sekelompok orang yang taat dan setia terhadap ajaran-ajaranNya.2 Agama yang memperjuangkan kebenaran dengan aksi militan-nya. Sikap militan dan intoleran tidak jarang terlihat dengan jelas dalam gerakan fundamentalisme. Fundamentalisme membangun benteng untuk melakukan pertahananProf. Emanuel Gerrit Singgih, PhD, Dari Fundamentalisme Tunggal ke Fundamentalisme Jamak, dalam, Fundamentalisme dalam Kristen Islam, Ribut Karyono, MTh, Kalika, Jogjakarta, 2003, hlm xix. Mark Juergensmeyer, bahkan memberi keterangan yang lebih mengenai aksi-aksi sebelum tragedi 11 September, dalam Teror Atas Nama Tuhan, penerjemah M. Sadat Ismail, Nizam Press, Jakarta, 2002 2 Ribut Karyono, MTh, Fundamentalisme dalam Kristen Ialam, Kalika, Jogjakarta 2003, hlm 3. bandingkan dengan yang ada dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, DepartemenPendidikan dan Kebudayaan, Balai Pustaka, Jakarta 1988, hlm 245.1dan melakukan perlawanan dengan pihak lain dengan aksi militannya.3 Jadi, bagi kaum fundamentalis yang militan yang bersedia mati demi membela keyakinannya, membayangkan kematian menjadi jalan yang bernilai bagi kelompoknya. Dengan adanya penilaian semacam inilah yang menjadikan kekerasan berharga.Ajaran damai dari suatu agama, di saat yang berlainan bisa berubah menjadi ajaran tentang penghapusan manusia. Agama yang mengajarkan tentang kasih sayang antara sesama manusia dan sesama mahluk Tuhan, pada saat yang sama manusia juga meyakini kesalehan yang tertinggi adalah jika manusia bisa mengabdi sepenuhnya pada Tuhan. Untuk dan atas nama Tuhan manusia boleh, sah, dan bahkan merasa berkewajiban untuk meniadakan manusia yang lain. Peperangan demi peperangan terus berlangsung, kegembiraan menjemput maut terus terjadi sampai saat ini.4 Kegiatan keagamaan, tempat sakral dan bahasa agama yang diharapkan mampu menciptakan keharmonisan dan ketenagan hidup bersama, berubah menjadi sasaran dan alat untuk melampiaskan bermacam-macam ketidakpuasan serta kecurigaan. Akibatnya, wajah agama menjadi menakutkan serta sering diasosiasikan dengan peristiwa-peristiwa kekerasan. Jadi, nampak terdapat dual tendency dalam diri agama. Anti-kekerasan dan kekerasan. Dual tendency ini terkait dengan dogma yang diajarkan yang dapat menjadi sumber legitimasi kekerasan dan sekaligus anti-kekerasan pada saat, tempat dan waktu yang berbeda.Kekerasan yang dilakukan tidak lagi bersifat individu. Kekerasan yang dilakukan sudah menjadi kekerasan secara komunal atau massa. Kekerasan ini berbeda dari kekerasan yang dilakukan secara individu, karena kekerasan yang dilakukan tidak berdasarkan dendam atau kebencian personal, melainkan banyak dipengaruhi oleh dinamika kelompok tersebut. Faktor yang paling menentukan di sini adalah pimpinan kelompok. Faktor individu dari pimpinan kelompok dapat berubah menjadi kepentingan seluruh anggota kelompok. Hal ini dapat dilihat dalam kekerasan yang sering dilakukan di tengah masyarakat. Kekerasan yang dilakukan oleh agama sering berkaitan dengan hal semacam ini. Tokoh pimpinan spiritual, yang memiliki pandangan berbedaSeperti yang di kutip dari The Encyclopedia Of Religion, oleh Pdt. Prof. DR. Liem Khiem Yang, Fundamentalisme dalam Gereja, considers it a chief Christian duty to combat incompromisingliy modernist theology and certain secularizing cultural trends, - is militant in organization, dalam Fundamentalisme, Agama-Agama dan Teknologi, penyunting Pdt Dr. Soetarman Sp, dkk. BPK-Gunung Mulia cet ke-3, Jakarta 1996, hlm 19. 4 Abdul Munir Mulkhan, Dilema Manusia dengan Diri dan Tuhan, Pluralisme, Konflik dan Pendidikan Agama di Indonesia, hlm, xv-xx. Th. Sumartana. dkk, Interfidei Jogjakarta 2001.3dengan seseorang atau kelompok lain, maka akan sangat mudah menghasut kelompoknya untuk melakukan tindakan kekerasan untuk mengalahkan saingannya. Hal ini terkait juga dengan otoritasnya sebagai pimpinan kelompok, seperti; Aum Shinrikiyu di Jepang, Osama bin laden di Afghanistan, Mike Bray di Amerika Srikat, Rabbi Meir Khane di Israel, dll. Bahkan di Indonesia juga, seperti Abubakar Baazir sebagai pendiri pondok pesantren Ngruki di Solo, Habib Rizik sebagai pemimpin Fron Pembela Islam, dll. Kekerasan demi kekerasan semacam inilah yang sering kita lihat.Hal yang sama pun terjadi di Indonesia seperti pertikaian di Ambon, Kalimantan. Hanya karena manusia tersebut memiliki pemahaman, agama dan keyakinan yang berbeda kekerasan pun dapat terjadi, bahkan sampai pada menghilangkan nyawa seseorang. Bentuk kekerasan juga dapat terjadi dalam bentuk pemerkosaan, Pemerkosaan yang dilakukan oleh segelintir orang pada saat kerusuhan Mei 1998 terhadap perempuan keturunan Tiong Hoa di Jakarta. Serta bentuk kekerasan yang masih sampai saat ini dilakukan adalah berupa pengerusakan sarana hiburan yang dilakukan oleh kelompok tertentu dengan berbagai alasan untuk mendukung pengerusakan yang dilakukannya. Dengan mengusung nama Tuhan dan panji-panji agama, para laskar sipil bertindak seperti malaikat/polisi surgawi yang sah melakukan tindakan kekerasan. Bahkan kekerasan yang dilakukan oleh aparat ketertiban terhadap pedagang kaki lima menjadi sajian utama berita pada saat ini. Sangat ironis, negara yang penduduknya taat beragama, namun tak mampu meredam kekerasan. Justru sebaliknya, bahkan tidak jarang kekerasan yang dilakukan mendapatkan justifikasi dari doktrin-doktrin keagamaan, seperti seruan jihad dan perang suci.Kekerasan juga dapat terjadi dalam bentuk lain, seperti membelenggu kreatifitas seseorang sehingga tidak dapat mengekspresikan pendapat, ancaman bom di Jakarta dan tekanan pemerintah terhadap aktifis, kebohongan serta penipuan berupa korupsi yang menjadi trend di Indonesia, bahkan dengan dampak yang sangat meluas. Kematian anak balita akibat busung lapar karena kurang gizi, anak balita yang terkena virus polio karena tidak di imunisasi pada masa sekarang ini di mana alat-alat serta obat-obatan sudah banyak ditemui orang tersebut tidak diberikan pengobatan bahkan dibiarkan ditelantarkan sampai mati,5 maka pada saat itu sudah terdapat bentuk kekerasan struktural dalam masyarakat. Inilah bentuk kekerasan lain yang ada di dalam masyarakat.5Kematian anak balita karena busung lapar di NTB serta berjangkitnya virus polio di Jawa Barat memasuki bulan Juni 2005. Belum lagi kisah Supriono (di Jakarta) yang harus kehilangan putrinya Khaerunisa (3 tahun) karena diare, serta menggendong jenasah anaknya karena tidak memiliki uang untuk biaya rumah sakit dan mobil ambulance. Kompas 7 Juni 2005, hlm 19.