Daftar Isi:
  • Mahar merupakan sebuah pemberian yang diwajibkan bagi seorang suami bukannya istri, hal ini selaras dengan prinsip syari’at bahwa seorang perempuan sama sekali tidak dibebankan kewajiban nafkah baik sebagai seorang ibu, anak perempuan maupun sebagai seorang istri. Sudah sepatutnya diketahui jika terdapat kriteria-kriteria suatu mahar dikatakan sah untuk diberikan dalam pernikahan. Dengan demikian tentu terdapat pula kriteria-kriteria yang dapat membatalkan keabsahannya. Kriteria ini bisa terdapat pada sifat sesuatu yang dijadikan mahar seperti sesuatu tersebut tidak dapat dimiliki ataupun tidak jelas keadaannya, ataupun dari segi dzatnya seperti barang najis. Mahar yang melekat didalamnya salah satu kriteria tersebut maka mahar ini disebut mahar fasid (mahar yang rusak). Dengan adanya kewajiban mahar yang tidak bisa disepelekan tentu mahar yang fasid akan memberi akibat yang berbeda terhadap pernikahan yang dilangsungkan dengannya. Terhadap hal tersebut, terdapat perbedaan pendapat dikalangan ulama’ Madzhab. Ulama’ Madzhab Syafi’iyyah, Hanafiiyah dan Hanabalah berpendapat bahwa mahar fasid tidak dapat merusak pernikahan. Sedangkan ulama’ Malikiyyah berpendapat berbeda. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui faktor perbedaan pendapat antara Imam Syafi’i dan Imam Sahnun terkait hal tersebut dan untuk menganalisa pendapat keduanya. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah studi pustaka dokumenter. Hasilnya adalah perbedaan pendapat ini didasarkan pada latar belakang pendidikan dan perbedaan pendapat tentang kedudukan mahar dalam pernikahan. Selain itu pendapat keduanya sama-sama memiliki keunggulan masing-masing. Dimana pendapat Imam Syafi’i lebih unggul dibidang istimbath dan Imam Sahnun lebih unggul dibidang pemenuhan unsur filosofisnya. Meski di Indonesia terdapat hukum positif yang ditujukan bagi masyarakat muslimnya, namun disayangkan bahwa aturan terkait konsekuensi mahar fasid tidak diatur didalamnya.