Nasab anak hasil fertilisasi In Vitro dari sperma mayat suami (studi terhadap status anak pasca Putusan Mahkamah Konstitusi No.46/PUU-VIII/2010 dengan pendekatan metode qiyas)
Daftar Isi:
- Fertilisasi in Vitro sebagai bentuk inovasi teknologi pada dasarnya tidak akan berbenturan dengan hukum Islam tatkala dilakukan tanpa mencederai nilai-nilai dasar Syari’ah. Namun jika dilakukan dengan menggunakan sperma mayat suami, tentulah akan menimbulkan masalah baru, khususnya perihal anak dan akibat hukumnya. Salah satu diantaranya adalah masalah nasab, yang merupakan titik kunci dari hubungan perdata seorang anak dengan orangtuanya. Oleh karena hal tersebut, maka fokus kajian ini dilakukan untuk menjawab, 1) Bagaimana status nasab anak hasil fertilisasi in vitro dari sperma mayat suami ditinjau menggunakan metode qiyas?, 2) Bagaimana status nasab anak tersebut setelah Putusan Mahkamah Konstitusi No. 46/PUU- VIII/2010? Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian kepustakaan (library research), teknik pengumpulan data yang digunakan adalah secara dokumentatif. Sumber data primernya yaitu: kitab Tuḥfat al-Ṭullāb bi Syarḥ Taḥrīr Tanqih al-Lubāb karya Zakaria Al-Anṣari dan Putusan Mahkamah Konstitusi No. 46/PUU-VIII/2010. Serta buku-buku terkait Fertilisasi in Vitro. Metode analisis data yang digunakan penulis adalah analitik-deskriptik-komparatif. Analitik ialah cara pandang yang penulis gunakan dalam memecahkan kasus hukum yang dirumuskannya karena fokus kajian belum dijelaskan secara definitif. Deskriptik berarti menggambarkan secara tepat hasil analisis yang didapatkan dari penjabaran-penjabaran teori yang sudah ada. Komparatif ialah cara yang digunakan penulis untuk membandingkan hasil analisis keduanya. Hasil analisis dari penelitian ini menggambarkan bahwa, status nasab anak hasil fertilisasi in vitro dari sperma mayat suami, menurut pendekatan analogi terhadap konsep Nafkah terhadap wanita hamil dalam masa iddah wafat, tidak dapat dinasabkan kepada ayahnya, sehingga hanya dinisbatkan pada ibunya. Namun setelah Putusan Mahkamah Konstitusi No. 46/PUU-VIII/2010, maka hubungan keperdataan anak tersebut dapat dikaitkan kepada laki-laki sebagai ayah biologisnya selama dapat dibuktikan dengan ilmu pengetahuan dan teknologi dan atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan darah, termasuk hubungan perdata dengan keluarga ayahnya. Namun keputusan ini tidak serta merta menolak dogma agama, jika ia mengaturnya.