Analisis pendapat Imam Malik tentang hukuman pengasingan terhadap pelaku zina ghairu muhshan
Daftar Isi:
- Agama Islam termasuk agama yang melarang keras akan suatu perzinaan. Di dalam agama Islam hukuman untuk pelaku zina adalah didera sebanyak seratus kali. Hal itu disandarkan pada al-Qur’an surat an-Nur ayat 2. Akan tetapi dengan adanya sabda nabi Muhammad SAW. yang diriwayatkan oleh Ubadah bin ash-Shamit, muncullah beberapa perbedaan pendapat oleh para ulama’, karena di dalam hadits tersebut ada perbedaan hukuman terhadap pelaku zina, yaitu muhshan dan ghairu muhshan. Untuk yang muhshan adalah dera dan rajam, sedangkan untuk yang ghairu muhshan adalah dera dan pengasingan. Menanggapi hadits tersebut Imam Malik sedikit berbeda pendapat dengan hukuman bagi pezina ghairu muhshan dalam hal hukuman pengasingannya. Oleh karena itu penulis tertarik untuk menganalisis pendapat dan istinbath hukum yang dipakai oleh Imam Malik ke dalam sebuah skripsi. Jenis penelitian ini adalah penelitian kepustakaan (library research) dimana data yang digunakan diperoleh dari sumber utama (primer) maupun sumber data pelengkap (sekunder). Sumber data primer adalah Fiqh al-Muamalat ala Madzhab Imam Malik karya Hasan Kamil al-Lathowi, Kitab Fiqh al-Islami Waadilatuhu karya Wahbah Zuhaili, dan Fikih Sunnah karya Sayyid Sabiq. Adapun sumber data pelengkap yaitu data yang digunakan sebagai pendukung dalam penelitian skripsi ini, yaitu kitab-kitab fiqh dan buku-buku yang terkait. Metode penelitian yang digunakan adalah metode dekriptif kualitatif dengan metode analisis content analisys (analisis isi). Dengan pendekatan sosio-historis yang digunakan untuk pelacakan dan menganalisis terhadap dasar istinbath hukum Imam Malik dalam menetapkan hukuman bagi pelaku zina ghairu muhshan. Hasil temuan dari penelitian ini adalah, Imam Malik kurang sependapat dengan sabda nabi Muhammad SAW. tentang hukuman pengasingan terhadap pelaku zina ghairu muhshan. Dia tetap memberlakukan hukuman pengasingan, akan tetapi hanya memprioritaskan kepada laki-lakinya saja. Karena wanita itu pada dasarnya adalah aurat yang perlu atas penjagaan dan pengawalan. Yang mana ada sebuah hadits yang melarang wanita untuk berpergin tanpa adanya seorang mahram. Dan juga jika wanita tersebut ikut diasingkan ditakutkan ia akan mengulangi perbuatannya lagi yang nantinya malah akan menimbulkan fitnah. Jadi dalam hal ini Imam Malik menggunakan kaidah maslahah mursalah yaitu dengan ikut diasingkannya wanita tersebut malah akan menimbulkan banyak madharatnya. Itulah beberapa alasan mengapa dalam hal hukuman pengasingan terhadap pezina ghairu muhshan Imam Malik hanya memprioritaskan kepada laki-lakinya saja.