Kewenangan Hakamain dalam perkara syiqaq (studi perbandingan pendapat Imam Malik dan Imam Al Syafi’i)

Main Author: Masitoh, Dewi
Format: Thesis NonPeerReviewed Book
Bahasa: eng
Terbitan: , 2016
Subjects:
Online Access: https://eprints.walisongo.ac.id/id/eprint/5793/1/122111146.pdf
https://eprints.walisongo.ac.id/id/eprint/5793/
Daftar Isi:
  • dPersoalan hakamain menjadi perdebatan ulama mengenai kewenangannya dalam menyelesikan perkara syiqaq. Hal ini karena pemahaman teks Alquran yang berbeda, sehingga pentakwilannya pun berbeda paham. Selain itu, Hadis yang menjelaskan tentang kewenangan hakamain pun tidak secara tersurat menjelaskan. Imam Malik dan Imam Al Syafi’i dalam hal ini termasuk mazhab yang berada dalam pusara perbedaan tersebut. Oleh karena itu, penulis tertarik membahas pendapat kedua imam tersebut untuk penulis sajikan dalam bentuk skripsi. Tidak hanya memaparkan kedua pendapat Imam tersebut, akan tetapi penulis juga menyajikan faktor perbedaaan pendapat kedua Imam tersebut. Jenis penelitian dalam skripsi ini adalah penelitian kepustakaan (library research) dengan paradigma normatif. Sumber data diperoleh dari data primer dan data sekunder. Dalam penelitian ini, penulis menggunakan metode pengumpulan data dengan teknik dokumentasi. Setelah mendapatkan data yang diperlukan, maka data tersebut penulis analisis dengan metode analisis deskriptif-komparatif. Rumusan masalah dari penelitian ini adalah: 1. Bagaimana komparatif pendapat Imam Malik dan Imam Al Syafi’i mengenai kewenangan hakamain dalam menyelesaikan perkara syiqaq?. 2. Bagaimana relevansi pendapat kedua imam tersebut mengenai kewenangan hakamain dalam menyelesaikan perkara syiqaq yang diterapkan di Pengadilan Agama di Indonesia? Dari hasil penelitian, dapat penulis simpulkan bahwa kewenangan hakamain dalam menyelesaikan perkara syiqaq ini menurut Imam Malik adalah hakam tersebut mempunyai kewenangan penuh atas apa yang menjadi tanggung jawabnya, ia boleh memberikan putusan sesuai kondisi hubungan suami istri yang sedang berselisih tersebut, apakah hakam itu akan memberi keputusan cerai atau memerintahkan agar keduanya berdamai kembali. Sedangkan menurut Imam Al Syafi’i adalah kewenangan hakamain dalam menyelasaikan perkara syiqaq ini tidak boleh serta merta menjatuhkan talak pada istri sebelum mendapat persetujuan pihak suami, begitu pula hakam dari pihak istri tidak boleh mengadakan khulu’ sebelum mendapatkan persetujuan pihak istri. Jika dilihat dari prosedur penyelesaian perkara syiqaq, maka keputusan yang diambil ini mengikuti prosedur pendapat Imam Malik. Akan tetapi pendapat Imam Al Syafi’i pun relevan digunakan dalam Pengadilan Agama di Indonesia, bahwa beliau telah menyebutkan hakamain tersebut harus memiliki beberapa kriteria. Namun untuk jumlah hakam tidak mengikuti pendapat kedua imam tersebut, karena dalam Pengadilan Agama jumlah hakam tidak disyaratkan dua orang.