Analisis pendapat Madzhab Hanafi tentang iddah bagi wanita yang belum haid (studi kitab Badā’i al-Shonā’i fi Tartībi al-Syarō’i)

Main Author: Nuha, Ulin
Format: Thesis NonPeerReviewed Book
Bahasa: eng
Terbitan: , 2016
Subjects:
Online Access: https://eprints.walisongo.ac.id/id/eprint/5692/1/092111074.pdf
https://eprints.walisongo.ac.id/id/eprint/5692/
Daftar Isi:
  • Iddah merupakan suatu kewajiban yang dilakukan oleh istri untuk membersihkan rahimnya dari hal-hal yang berkaitan dengan mantan suaminya. Hal yang menimbulkan permasalahan adalah ketika terjadi perceraian dalam hubungan suami istri adalah tentang masa iddahnya. Permasalahan mengenai iddah bagi wanita yang belum haid ini terdapat selisih pendapat apakah mantan istri yang belum haid tersebut wajib menjalani masa iddah atau tidak. Madzhab Hanafi menyatakan bahwa seorang istri yang belum haid ketika ditalak oleh suaminya baik istri tersebut ditalak hidup atau talak mati maka wajib menjalani masa iddah selama tiga bulan, karena madzhab Hanafi tidak membedakan antara iddah bagi istri yang belum haid atau yang sudah berhenti haid (menopause). Pendapat madzhab Hanafi ini berbeda dengan pendapat mayoritas ulama yang menyatakan bahwa seorang istri yang belum haid tidak wajib menjalani iddah. Sehingga dari pernyataan di atas terdapat selisih pendapat. Adapun permasalahan yang dibahas adalah bagaimana pendapat Madzhab Hanafi tentang iddah bagi wanita yang belum haid. Bagaimana dasar hukum Madzhab Hanafi tentang iddah bagi wanita yang belum haid. Skripsi ini merupakan jenis penelitian kepustakaan (library research) sumber data penelitian ini terdiri dari data primer berupa pemikiran Madzhab Hanafi tentang iddah bagi wanita yang belum haid dalam kitab Badā’i al-Shonā’i fi Tartībi al-Syarō’i, sumber sekundernya berupa literatur-literatur lain yang membahas tentang iddah, pengumpulan data melalui studi kepustakaan, teknis analisis yang digunakan adalah deskriptif kualitatif dan deskriptif normatif. Dalam analisis ini hasilnya adalah yang pertama, bahwasanya madzhab Hanafi menyatakan seorang wanita yang belum haid wajib menjalani masa iddah selama tiga bulan baik istri tersebut di cerai hidup atau cerai mati. Pendapat beliau ini diperkuat dengan alasan-alasannya, yaitu seorang wanita yang ditalak masih berhak nafkah karena suami berhak menahan seorang istri seperti dalam ikatan perkawinan dan alasan selanjutnya karena sebab adanya iddah, tetapi madzhab Hanafi berpendapat bahwa terdapat pengecualian tentang seorang istri yang ditalak ba’in, hak untuk mendapatkan nafkah dari suaminya bisa gugur apabila mantan istri telah melakukan perbuatan yang dilarang oleh hukum Islam, yaitu apabila mantan istri telah murtad dari agama Islam dan telah melakukan perbuatan maksiat. Madzhab Hanafi menggunakan dasar hukum Al-Qur’an surat ath-Thalaq ayat 4 dalam menetapakan iddah bagi wanita yang belum haid, karena madzhab Hanafi memandang surat ath-Thalaq ayat 4 ini adalah umum untuk semua iddah bagi istri yang belum haid atau yang sudah berhenti haid (menopause). Dengan menunjukkan lafadz “Wallā’i lam yakhidzna” merupakan lafadz yang berarti bersifat ‘am, karena dalam surat ath-Thalaq ayat 4 ini tidak terdapat lafadz yang secara khusus menunjukkan bahwa mantan istri yang ditalak oleh mantan suaminya wajib menjalankan masa iddah.