Analisis pendapat Imam Abu Hanifah tentang akad nikah dengan surat dalam kitab Bada’i al Shana’i fi Tartib al Syara’i karya Abi Bakr bin Mas’ud al Kasani

Main Author: Ihsannudin, Ihsannudin
Format: Thesis NonPeerReviewed Book
Bahasa: eng
Terbitan: , 2015
Subjects:
Online Access: https://eprints.walisongo.ac.id/id/eprint/5522/1/102111019.pdf
https://eprints.walisongo.ac.id/id/eprint/5522/
Daftar Isi:
  • Akad nikah adalah perjanjian yang berlangsung antara dua pihak yang melangsungkan perkawinan dalam bentuk ijab dan qabul. Akad nikah adalah wujud nyata perikatan antara seorang pria yang menjadi suami dengan seorang yang menjadi istri. Perbedaan pendapat muncul jika salah satu dari pihak pelaksana akad tidak ada dan ingin melaksanakan akad pernikahan maka baginya mengutus utusan atau menulis surat kepada pihak lainya untuk meminta pernikahan. Ulama Hanafiah mengatakan bahwa majlis akad pernikahan adalah majlis pembacaan tulisan didepan saksi atau mendengarkan suratnya utusan dengan hadirnya saksi. Imam Syafi’i menyatakan bahwa tidak terjadi akad nikah dengan tulisan, baik yang akad hadir atau tidak hadir. Berdasarkan latar belakang di atas, yang menjadi pokok permasalahan dalam skripsi adalah 1) Bagaimana pendapat Imam Abu Hanifah tentang akad nikah dengan surat dalam kitab Bada’i al Shana’i fi Tartib al Syara’i karya Abu Bakr bin Mas’ud al Kasani? 2) Bagaimana istinbath hukum Imam Abu Hanifah tentang akad nikah dengan surat dalam kitab Bada’i al Shana’i fi Tartib al Syara’i karya Abu Bakr bin Mas’ud al Kasani?. Penelitian ini termasuk dalam jenis penelitian pustaka (library research), di mana data-data yang dipakai adalah data yang diperoleh dari kepustakaan, yaitu dari kitab Bada’i al Shana’i fi Tartib al Syara’i. Pendekatan yang digunakan penulis dalam penelitian ini adalah deskriptif kualitatif. Adapun hasil dari penelitian menunjukkan bahwa Pendapat Imam Abu Hanifah sebagaimana dalam kitab Bada’i al Shana’i fi Tartib al Syara’i karya Abu Bakr bin Mas’ud al Kasani sebagaiman bahwa akad nikah dengan surat ini boleh dilakukan, asalkan syarat-syaratnya harus dipenuhi, yaitu keberadaan keduanya tidak dalam tempat yang sama dan adanya dua orang saksi. Hal ini mengindikasikan adanya kondisi yang memaksa (dharurat) untuk melakukan akad nikah dengan surat. Sedangkan syarat adanya saksi merupakan syarat pokok dalam perkawinan, sebagaimana dalam hadits tentang saksi nikah dan tentang kriteria pelacuran. Berdasarkan hadits di atas, apabila seseorang mengirimkan surat dan disaksikan oleh dua orang saksi, maka akad nikah nikah tersebut sudah memenuhi rukun dan syarat perkawinan. Istinbath hukum Imam Abu Hanifah didasarkan pada hadits Ummu habibah dan praktek Nabi yang menikahkan dua orang tanpa bertemu dalam satu mejelis. Dalam praktek perkawinan di mana antara mempelai laki-laki yang mengucapkan qabul tidak berada dalam satu tempat dengan orang yang melakukan ijab. Pengertian satu majelis oleh jumhur ulama (mayoritas) difahami dengan kehadiran mereka dalam satu tempat secara fisik. Imam Abu Hanifah, memahami satu majelis bukan dari segi fisik para pihak, namun hanya ijab dan qabul para pihak harus dikatakan di satu tempat dan secara berkesinambungan, sebagaimana ijab qabul dalam akad jual beli.