Analisis pendapat Imam Abu Hanifah tentang saksi buta dalam perkawinan

Main Author: Fauzan, Muhammad
Format: Thesis NonPeerReviewed Book
Bahasa: eng
Terbitan: , 2015
Subjects:
Online Access: https://eprints.walisongo.ac.id/id/eprint/5516/1/092111057.pdf
https://eprints.walisongo.ac.id/id/eprint/5516/
Daftar Isi:
  • Saksi merupakan syarat sah akad nikah. Pernikahan tidak sah tanpa kehadiran dua saksi. Saksi yang dapat diterima dalam akad nikah adalah yang memenuhi syarat, di mana syarat tersebut merupakan suatu kewajiban yang harus dipenuhi seseorang untuk memberikan kesaksian, sehingga apabila syarat-syarat tersebut tidak terpenuhi maka kesaksian seseorang tidak dapat diterima. Imam Abu Hanifah tidak mensyaratkan saksi harus dapat melihat para pihak yang melakukan akad. Imam Malik tidak mensyaratkan kehadiran saksi dalam akad perkawinan, selagi perkawinan tersebut dirayakan. Apabila pernikahan tersebut tidak dirayakan, maka dalam akad nikah harus mendatangkan saksi. Imam Syafi’i mensyaratkan saksi harus mampu melihat para pihak yang melakukan akad. Pendapat Ibnu Qudamah dari ulama hanbaliyah tentang syarat saksi sama dengan Imam Abu Hanifah, yakni saksi tidak disyaratkan orang yang dapat melihat, akan tetapi harus ada keyakinan dari saksi akan suara yang didengarnya dan bisa dibuktikan dengan ilmu linguistik. Berdasarkan latar belakang di atas, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah 1) Bagaimana pendapat Imam Abu Hanifah tentang saksi buta dalam perkawinan? 2) Bagaimana istinbath hukum Imam Abu Hanifah tentang saksi buta dalam perkawinan? Penelitian ini merupakan jenis penelitian kepustakaan (library research), di mana data-data yang dipakai adalah data kepustakaan. Data primer dalam penelitian ini adalah kitab Bada’i al Shana’i fi Tartib al Syara’i karya Abu Bakr bin Mas’ud al Kasani. Metode analisis yang digunakan penulis adalah metode deskriptif kualitatif. Hasil dari penelitian menunjukkan bahwa Imam Abu Hanifah memperbolehkan kesaksian orang buta dalam perkawinan. Kebolehan saksi buta dalam perkawinan tersebut disaamakan dengan permasalahan perwalian dan qabul nikah, artinya ketika seseorang layak bertindak sebagai wali dan melakukan qabul nikah untuk dirinya sendiri dalam perkawinan, maka orang tersebut layak bertindak sebagai saksi dalam perkawinan. Pendapat ini kurang sesuai dengan fungsi dan kedudukan saksi dalam perkawinan, yaitu digunakan untuk mengantisipasi kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi di kemudian hari. Saksi yang menyaksikan akad nikah, dapat dimintai keterangan sehubungan dengan pemeriksaan perkaranya. Oleh karena itu dalam pelaksanaannya, saksi harus hadir dan menyaksikan secara langsung akad nikah. Istinbath hukum Imama Abu Hanifah tentang saksi buta disandarkan pada konsep perwalian dalam perkawinan dan qabul akad nikah. Karena orang buta boleh bertindak sebagai wali nikah dan atau melakukan qabul nikah untuk dirinya sendiri, maka orang buta diperbolehkan menjadi saksi dalam akad nikah. Untuk mencari solusi permasalahan saksi buta dalam akad nikah yang belum ada nash yang jelas dalam al Qur’an maupun hadits, perlu diadakan istinbath hukum. Berdasarkan konsep ahliyyah, permasalahan saksi buta dalam akad nikah bila dikaitkan syarat mukallaf, maka orang buta boleh bertindak sebagai saksi dalam perkawinan, akan tetapi apabila hal ini bila dikaitkan dengan fungsi dan kedudukan saksi dalam perkawianan, maka saksi buta belum mencukupi.