Hukum qisâs dalam perspektif Al-Qur'an dan Bibel
Main Author: | Zaenurochman, Zaenurochman |
---|---|
Format: | Thesis NonPeerReviewed Book |
Bahasa: | eng |
Terbitan: |
, 2009
|
Subjects: | |
Online Access: |
https://eprints.walisongo.ac.id/id/eprint/5224/1/2104010_lengkap.pdf https://eprints.walisongo.ac.id/id/eprint/5224/ |
Daftar Isi:
- Hukum Qisâs tidaklah baru sama sekali bagi umat Nabi Muhammad Saw. Para pemeluk agama Islam yang percaya pada kitab suci yang diwahyukan Allah juga dikenakan Hukum Qisâs, dan karenanya muncul pertanyaan, bagaimana hukum Qisâs dalam perspektif al-Qur'an? Bagaimana hukum Qisâs dalam perspektif Bibel? Metode penelitian ini menggunakan jenis penelitian library research. Sebagai data primer yaitu Kitab suci agama Islam dan Kitab suci agama Kristen, sedangkan data sekunder, yaitu data yang mendukung data primer dan relevan dengan penelitian ini. Untuk menganalisis data yang telah terkumpul, maka peneliti menggunakan metode komparatif, hermeneutic, deskriptif analitis dan metode historis. Hasil dari pembahasan menunjukkan bahwa latar belakang adanya hukum Qisâs dalam al-Qur'an adalah karena hukum Qisâs merupakan bentuk koreksi hukum jahiliyah yang diskriminatif, selain itu juga karena adanya hukum alternatif, yaitu Qisâs, diyat atau maaf, adanya keringanan dan kemudahan dari Allah tentang penerapan hukum Qisâs. Latar belakang lain yaitu pertama, adanya sistem rekonsiliasi (perdamaian) dalam proses pemidanaan antar para pihak yang bersangkutan (korban atau wali dan pelaku), dalam Qisâs akan terjamin kelangsungan hidup. Hukum Qisâs bukanlah hukum mutlak sebagaimana bunyi nas, melainkan sebagai sebuah hukum yang dapat menjamin kebutuhan masyarakat akan keadilan. Dalam perspektif Injil bahwa tidak ada yang namanya hukum balas, jika ada orang membunuh maka tidak boleh dibalas dengan membunuh lagi. Mereka berdalil kepada ayat yang tercantum di Injil yang menegaskan bahwa "apabila seseorang hendak menampar pipi kananmu maka jangan membalas dengan menampar, melainkan berilah pipi yang kiri". Dengan begitu diharapkan pihak yang menampar akan sadar dan tidak mengulangi perbuatannya, sehingga ia bisa menjadi orang yang baik. Dalam konteks ini, tampaknya Injil menutup mata terhadap persoalan kejahatan dan melarang membalas kejahatan dengan kejahatan. Di samping itu mewajibkan kepada wali si terbunuh untuk memaafkan. Ini berarti melebihkan hak si pembunuh dan mengurangi hak si terbunuh.