Analisis pendapat Ibnu Qudamah tentang ketidakharusan izin dari wali bagi orang safih yang melakukan akad nikah
Main Author: | Mukholil, Ahmad |
---|---|
Format: | Thesis NonPeerReviewed Book |
Bahasa: | eng |
Terbitan: |
, 2009
|
Subjects: | |
Online Access: |
https://eprints.walisongo.ac.id/id/eprint/5187/1/2103171_lengkap.pdf https://eprints.walisongo.ac.id/id/eprint/5187/ |
Daftar Isi:
- Pernikahan itu terjadi melalui sebuah proses yaitu kedua belah pihak saling menyukai dan merasa akan mampu hidup bersama dalam menempuh bahtera rumah tangga. Namun demikian, pernikahan itu sendiri mempunyai syarat dan rukun yang sudah ditetapkan baik dalam al-Qur’an. Yang menjadi rumusan masalah adalah bagaimana pendapat Ibnu Qudamah tentang ketidakharusan izin dari wali bagi orang safih yang melakukan akad nikah? Bagaimana metode istinbat hukum Ibnu Qudamah tentang ketidakharusan izin dari wali bagi orang safih yang melakukan akad nikah? Dalam menyusun skripsi ini menggunakan jenis penelitian kepustakaan (library research). Data Primer, yaitu Kitab al-Mughni. Sebagai data sekunder, yaitu literatur lainnya yang relevan dengan judul skripsi ini. Adapun teknik pengumpulan data menggunakan teknik dokumentasi, sedangkan metode analisisnya adalah metode deskriptif yang diterapkan dengan cara mendeskripsikan pendapat dan metode istinbat hukum pendapat Ibnu Qudamah tentang tidak harus izin dari wali bagi orang safih yang melakukan akad nikah. Hasil pembahasan menunjukkan bahwa Menurut Ibnu Qudamah, akad nikah yang dilakukan orang safih (dungu) adalah sah, baik dia memperoleh izin dari walinya atau tidak, hal ini sebagaimana ia tegaskan bahwa hukumnya anak kecil dan orang gila sama seperti hukumnya orang safih (dungu/idiot), sang wali boleh memberi ijin kepadanya dalam sebagian perbuatan sehingga perbuatan tersebut dinyatakan sah dan lulus di antaranya ialah nikah, maka bilamana wali mengijinkan dia untuk menikah kemudian dia melaksanakan sendiri maka perbuatannya itu sah. Jikalau seorang safih menikah tanpa mendapat ijin dari walinya maka nikahnya itu sah, kemudian apabila safih ingin nikah nikah untuk jangka waktu tertentu yaitu yang lamanya bergantung pada permufakatan antara laki-laki dan wanita yang akan melaksanakannya, bisa sehari, seminggu, sebulan, dan seterusnya) maka dia boleh melakukannya meskipun tidak diijinkan walinya. Sama juga dia telah meminta kepada walinya yang kemudian ditolak maupun tidak ditolak. Namun nikahnya tidak sah kecuali dengan mahar misil. Dalam perspektif Ibnu Qudamah bahwa ketidakharusan izin dari wali bagi orang safih yang melakukan akad nikah adalah karena orang safih diqiyaskan dengan laki-laki pada umumnya yang tidak perlu wali. Selain itu pernikahan tidak menyangkut harta benda melainkan masalah kodrat biologis. Atas dasar itu pernikahan orang safih dianggap sah meskipun tidak ada izin dari wali. Dengan demikian istinbat yang dipakai Ibnu Qudamah adalah qiyas.