Analisis pendapat Imam Al-Syafi'i tentang keharusan menyebutkan sifat dan jenis mahar dalam akad nikah

Main Author: Ghofur, Abdul
Format: Thesis NonPeerReviewed Book
Bahasa: eng
Terbitan: , 2009
Subjects:
Online Access: https://eprints.walisongo.ac.id/id/eprint/5141/1/2102237_lengkap.pdf
https://eprints.walisongo.ac.id/id/eprint/5141/
Daftar Isi:
  • Perkawinan merupakan salah satu sunnatullaah yang umum berlaku pada semua makhluk Tuhan, baik pada manusia, hewan maupun tumbuh-tumbuhan. Yang menjadi masalah adalah Bagaimana pendapat Imam Al-Syafi'i yang mengharuskan menyebutkan sifat dan jenis mahar dalam akad nikah? Bagaimana metode istinbat hukum Imam Al-Syafi'i yang mengharuskan menyebutkan sifat dan jenis mahar dalam akad nikah? Dalam menyusun skripsi ini menggunakan jenis penelitian kepustakaan (library research), yaitu dengan jalan melakukan penelitian terhadap sumber-sumber tertulis, maka penelitian ini bersifat kualitatif, sedangkan metode analisisnya adalah deskriptif analisis. Data Primer, yaitu karya Imam Al Syafi'i, al-Umm. Sebagai data sekunder, yaitu literatur lainnya yang relevan dengan judul skripsi ini. Adapun teknik pengumpulan data menggunakan teknik library research (penelitian kepustakaan). Hasil pembahasan menunjukkan bahwa menurut Imam al-Syafi'i, apabila calon mempelai pria tidak menyebutkan sifat dan jenis mahar maka perkawinan yang demikian tidak boleh. Alasannya karena suatu rumah tangga harus dimulai dengan sikap keterbukaan, jujur dan terus terang. Demikian pula karena maskawin itu merupakan hak istri dan kewajiban suami maka ia harus transfaran yaitu istri harus mengetahui keadaan maskawin itu Dalam hubungannya dengan istinbat hukum Imam Syafi'i yang mengharuskan menyebutkan sifat dan jenis mahar dalam akad nikah, maka Imam Syafi'i menggunakan istinbat hukum berupa qiyas. Imam Syafi'i mengqiyaskan penyebutan sifat dan jenis mahar dengan sifat dan jenis jual beli. Menurutnya jual beli itu harus menjelaskan sifat dan jenis barangnya. Demikian pula sifat dan jenis mahar harus dijelaskan atau disebutkan. Apabila dikaitkan dengan sosio historis dimana Imam Syafi'i hidup, maka pada waktu itu banyak pria yang memberi maskawin secara tidak layak yaitu tidak sesuai dengan status siosial istri