Daftar Isi:
  • Bai’ al-wafa’ adalah jual beli yang dibarengi dengan syarat, bahwa barang yang dijual dapat dibeli kembali oleh penjual, apabila tenggang waktu yang ditentukan telah tiba. Para ulama fiqh berbeda pendapat mengenai jual beli ini. Mereka mengatakan jual ini tidak diperbolehkan, karena jual beli ini menyerupai bentuk akad rahn. Dilihat dari sisi bahwa harta yang menjadi jaminan harus kembali lagi kepada pemilik harta. Ibnu Tamiyah mengatakan, jual beli yang dipraktekan oleh sebagian masyarakat tampak seperti jual beli amanah, apabila uang dikembalikan maka barang dikembalikan. Maka jual beli ini adalah jual beli bathil, baik dengan persyaratan yang disebutkan dalam waktu akad maupun melalui kesepakatan sebelum akad. Ibnu Abidin mengemukakan pendapat yang berbeda dalam kitabnya “Raddul Muhtar”. Menurut beliau, hukum bai’ al-wafa’ diperbolehkan dengan alasan menghindarkan masyarakat dari perbuatan riba. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penulis sependapat dengan pendapat yang dikemukakan oleh Ibnu Abidin, karena jalan pikiran beliau dalam memberikan justifikasi terhadap jual beli didasarkan kepada istihsan urfi (menjustifikasi suatu permasalah yang telah berlaku umum dan berjalan dengan baik di tengah-tengah masyarakat). Bahkan akad ini dipandang sebagai suatu yang baik, dan tidak mengandung mudlarat. Sehingga ia dianggap sah. Bai’ al-wafa’ dalam perbankan Islam modern mirip rahn. Tetapi menurut penulis bai’ al-wafa’ sendiri masih relevan di terapkan di muamalah modern yang sampai saat ini masih bisa kita jumpai di masyarakat. Perkembangannya dapat kita lihat di lembaga perbankan, yang saat ini disebut sebgai produk rahn. Karena sebenarnya, akad bai’ al-wafa’ sendiri adalah bentuk dari perkembangan akad rahn, jadi sebagai penerapan di dalam muamalah modern akad bai’ al-wafa’ masih menginduk pada akad rahn.