Tinjauan maslaḥaṯ terhadap ketentuan pengampuan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

Main Author: Mubarok, Adib
Format: Thesis NonPeerReviewed Book
Bahasa: eng
Terbitan: , 2015
Subjects:
Online Access: https://eprints.walisongo.ac.id/id/eprint/4269/1/092111005.pdf
https://eprints.walisongo.ac.id/id/eprint/4269/
Daftar Isi:
  • Tata hukum perdata merupakan bagian dari hukum nasional. Banyak aturan yang ditetapkan pemerintah terkait hukum perdata di Indonesia, salah satunya berupa Burgerlijk Wetboek (BW) atau lebih dikenal dengan istilah Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata). Tujuan hukum sebagai sesuatu yang menciptakan manfaat sebanyak-banyaknya pada orang sebanyak-banyaknya. Orang dalam hukum dikatakan sebagai pembawa hak dan kewajiban. Namun tidak tidak setiap orang dapat bertindak sendiri dalam melaksanakan hak dan kewajibannya. Terdapat penggolongan orang dalam hukum yang dinyatakan tidak cakap untuk melaksanakan hak dan kewajibannya, salah satunya yaitu orang-orang yang ditaruh di bawah pengampuan (curatele). Dari latar belakang di atas, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah 1) Bagaimanakah ketentuan pengampuan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata? 2) Bagaimanakah tinjauan mashlaḫaṯ terhadap ketentuan pengampuan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata? Penelitian ini merupakan jenis penelitian kepustakaan (library research), di mana data-data yang dipakai adalah data kepustakaan. Sumber penelitian ini adalah Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Metode analisis menggunakan metode deskriptif kualitatif, sedangkan pendekatannya dengan pendekatan normatif-doktriner. Adapun hasil dari penelitian ini adalah bahwa ketentuan pengampuan dalam KUH Perdata hanya berlaku bagi orang-orang yang sudah dewasa yang tidak cakap. Ketidakcakapan tersebut disebabkan karena dungu, gila atau mata gelap. Pengampuan bisa berlaku pada orang atau badan hukum, karena keduanya termasuk subyek hukum. Orang yang mengampu disebut kurator dengan ketetapan pengadilan dan orang yang diampu disebut curandus. Curator bisa berupa orang secara individu untuk individu dan bisa berupa lembaga, yaitu Balai Harta Peninggalan. Pengampaun berakhir apabila sebab-sebab tersebut telah hilang dari diri orang yang diampu atau pengampu meninggal dunia. Untuk anak belum dewasa dalam keadaan apapun tidak boleh ditaruh di bawah pengampuan, tetapi tetap berada di bawah kekuasaan orangtuanya atau walinya. Kemashlaḫatan pengampuan yang terdapat dalam KUH Perdata apabila dilihat dari segi ada tidaknya dalil, maka termasuk mashlaḫat mursalat, karena tidak dalil yang secara langsung menunjukkan legalitas pengampuan orang-orang yang ada dalam KUH Perdata. Sedangkan dilihat dari tingkat kebutuhan manusia, maka pengampuan tersebut masuk dalam mahslaḫat dharuriyaṯ. Mashlaḫat tersebut terkait dengan pemeliharaan jiwa, akal dan harta, terutama jiwa, akal dan harta orang yang diampu (maḫjȗr ‘alaih) dan juga pemeliharaan terhadap orang lain.