Daftar Isi:
  • Dalam Islam khulu’ adalah salah satu bentuk dari perceraian. Khulu’ yaitu perceraian yang terjadi atas permintaan istri dengan cara menebus suaminya. Jika suami mempunyai hak talak untuk menceraikan istrinya maka seorang istri mempunyai hak untuk bercerai dengan suaminya melalui khulu’. Dalam hal ini yang menjadi problem adalah apakah satus khulu’ itu adalah talak atau fasakh? Jika khulu’ sebagai talak, maka termasuk talak raj’i atau ba’in. Dalam hal ini para ulama berbeda pendapat tentang status khulu’. Jumhur ulama termasuk Imam Syafi’i dan Imam Malik berpendapat bahwa khulu’ adalah talak ba’in, sedangkan madzhab Hambali berpendapat bahwa khulu’ adalah fasakh. Dengan demikian mayoritas ulama tidak membolehkan rujuk setelah terjadinya khulu’. Akan tetapi Ibnu Hazm berpendapat bahwa khulu’ adalah talak raj’i. Oleh karena itu, penulis menjadikan pendapat Ibnu Hazm tersebut sebagai tema pokok dalam pembahasan skripsi ini. Berdasarkan hal tersebut yang menjadi rumusan masalah dalam penelitian ini adalah Bagaimana pendapat Ibnu hazm tentang status khulu’ sebagai talak raj’i? Apa Landasan hukum Ibnu Hazm tentang status khulu’ sebagai talak raj’i? Dalam penyusunan skripsi ini penulis menggunakan pendekatan kualitatif sedangkan jenis penelitiannya adalah penelitian kepustakan (Library Research) dimana data-data yang diperoleh adalah data kepustakaan, dengan sumber data primernya adalah kitab al-Muhalla dan al-ihkam fi ushul al-ahkam karya Ibnu Hazm. Kemudian data sekundernya diperoleh dari kitab-kitab fiqh,buku-buku, artikel, atau literatur lain yang berkaitan dengan pembahasan skripsi ini. Sedangkan analisisnya menggunakan deskriptif analisis. Hasil pembahasan menunjukan bahwa menurut Ibnu Hazm khulu’ adalah talak raj’i dimana suami boleh merujuk istrinya dalam masa ‘iddah dengan disaksikan atas rujuknya. Ibnu Hazm beralasan bahwa khulu’ sebagai talak sehingga suami boleh kembali kepada istrinya dalam masa ‘iddah karena dalam hukum talak suami berhak rujuk kecuali dalam talak tiga dan perempuan yang belum pernah dijimak. Jumhur ulama berpendapat khulu’ adalah talak ba’in sedangkan ulama Hanbaliyah mengatakan khulu’ adalah fasakh. Landasan hukum Ibnu Hazm tentang status khulu’ adalah bahwa menurutnya hadits tentang khulu’ menunjukan talak sehingga harus dikembalikan kepada hukum talak yang membolehkan rujuk dalam QS. al-Baqarah ayat 228 dan QS. at-Thalaq ayat 2 dimana suami berhak kembali dalam masa ‘iddah kecuali talak tiga dan talak pada perempuan yang belum pernah dijimak. Jadi Ibnu Hazm dalam beristinbath hukum menggunakan metode al-Dalil yang diambil nash atau Ijma’. al-Dalil adalah sumber hukum yang ke empat menurut Ibnu Hazm. Jika ditilik dari perkembangan al-Dalil, maka teori Istishab adalah yang digunakannya dalam masalah ini. Istishab merupakan salah satu dari pembagian al-Dalil. Istishab menurut Ibnu Hazm adalah lestarinya hukum asal yang ditetapkan dengan nash sehingga ada dalil yang mengubahnya.