Persepsi masyarakat terhadap kinerja Kantor Urusan Agama (KUA) dan biaya pencatatan nikah (studi pada KUA di Kabupaten Kudus )

Main Author: Tolkah, Tolkah
Format: Monograph NonPeerReviewed Image Book
Bahasa: eng
Terbitan: LP2M IAIN Walisongo , 2014
Subjects:
Online Access: https://eprints.walisongo.ac.id/id/eprint/3847/1/Cover-KUA.jpg
https://eprints.walisongo.ac.id/id/eprint/3847/2/Tolkah-KUA_Penelitian.pdf
https://eprints.walisongo.ac.id/id/eprint/3847/
Daftar Isi:
  • Melalui penelitian lapangan dengan menggunakan metode kombinatif antara kuantitatif dan kualitatif ditemukan bahwa persepsi masyarakat terahadap kinerja layanan publik Kantor Urusan Agama (KUA) di Kabupaten Kudus secara umum memuaskan dengan persentase mencapai 69,4%. Demikian pula persepsi masyarakat terhadap kinerja layanan khusus mengenai biaya pencatatan nikah juga memuaskan dengan capaian angka 58,4%. Dari jumlah pernikahan dalam tahun 2013 sebesar 8.117 pasangan, lebih dari 85% persennya dilaksanakan di luar Kantor Urusan Agama (Agama). Konsekuensinya, pengawasan dan pencatatan pernikahan tersebut dilakukan oleh petugas KUA dengan istilah “bedolan”. Bedolan berasal dari Bahsa Jawa bedol, yang artinya mencabut., sehingga bedolan berarti cabutan. Dengan bedolan ini petugas KUA dicabut dari kantor KUA dan dibawa ke tempat pelaksanaan akad nikah (biasanya di rumah atau di gedung resepsi) untuk mengawasi pelaksanaan pernikahan sekaligus mencatatnya. Selain itu, petugas KUA juga banyak melakukan peran tambahan yang diminta oleh masyarakat pengguna layanannya untuk mengakadkan nikah (sebagai wakil wali pengantin perempuan), untuk menyampaikan khutbah nikah, dan atau memberikan mauidhah khasanah. Konsekuensinya, biaya yang dikeluarkan oleh masyarakat lebih besar dari biaya pencatatan nikah yang ditetapkan oleh pemerintah (sebelum diatur dengan PP No. 24 Tahun 2014). Ditinjau dari hukum positif, maka pengenaan biaya di luar yang untuk pencatatan maka dapat dikelompokkan menjadi biaya transport dan jasa layanan mengaqadkan, khutbah nikah dan atau mauidhah khasanah yang lazim disebut dengan “bisyarah” (pesangon). Maka, ia tidak serta merta dapat disebut sebagai melanggar hukum (gratifikasi). Sedangkan dengan telah terbitnya PP No. 24 Tahun 2014, maka pemberian bisyarah itu masuk sebagai pelanggaran hukum.