Daftar Isi:
  • Berbicara masalah perkawinan, erat kaitannya dengan esensi perkawiann. Di mana tujuan perkawinan yang sangat esensial adalah untuk mewujudkan kehidupan yang sakinah, mawaddah, warahmah. Diantara disyariatkanya perkawinan adalah untuk mendapatkan ketenangan hidup, pergaulan yang baik dalam rumah tangga, mendapatkan cinta dan kasih sayang, serta adanya keturunan. Tujuan adanya ikatan perkawinan adalah untuk menentukan keturunan menurut Islam agar anak yang lahir dengan jalan perkawinan yang sah memiliki status nasab yang jelas. Nasab merupakan legalitas hubungan kekeluargaan berdasarkan pertalian darah akibat perkawinan yang sah dan pengakuan syara’ untuk mendapatkan hak-hak keperdataan seperti hak waris, nafkah, perwalian, dll. Di dalam skripsi ini status nasab anak hasil Fertilisasi in Vitro pasca kematian suami dipertanyakan, karena proses pembuahan anak dilakukan dengan sperma suami yang sudah meninggal. Hal ini berarti status perkawinan antara suami dan istri sudah putus secara hukum agama maupun hukum positiv. Dari permasalahan diatas penulis akan mengkaji tentang bagaimana status hak keperdataan anak hasil fertilisasi in vitro pasca kematian suami setelah putusan MK No. 46/PUU VIII/2010? kemudian bagaimana pandangan hukum Islam dan pandangan hukum positiv terhadap status hak keperdataan anak hasil fertilisasi in vitro pasca kematian suami setelah putusan MK No. 46/PUU VIII/2010? Penulisan penelitian ini didasarkan pada library research (penelitian kepustakaan). Paradigma yang digunakan dalam penelitian ini adalah paradigma kualitatif, data penelitian dihimpun dari dokumen yang berkaitan dengan Fertilisasi in Vitro pasca kematian suami setelah putusan MK No. 46/ PUU VIII/ 2010. Data primer yang digunakan adalah Putusan MK No. 46/PUU VIII/ 2010, Kitab Al-Fatawa karangan Mahmud Syaltut, data sekundernya berupa buku-buku, kamus, internet, dan interview kemudian akan dianalisis menggunakan analisis deskriptif. Hasil studi penelitian menyimpulkan bahwa anak hasil fertilisasi in vitro tidak mempunyai hak keperdataan dari ayah pemilik sperma baik nasab, waris, maupun perwalian. Setelah adanya putusan MK No 46/PUU VIII/2010 anak hasil fertilisasi in vitro mempunyai harapan mendapatkan hak-hak keperdataan melalui proses beracara di Pengadilan. Dalam pandangan hukum Islam, anak hasil fertilisasi in vitro tetap tidak berhak mendapatkan hak keperdataan dari ayah pemilik sperma meskipun ada putusan MK No. 46/PUU VIII/2010 sebagai payung hukum, karena proses “pembuatan” anak dilakukan di luar perkawinan yang sah. Sedangkan menurut pandangan Hukum Positif anak hasil fertilisasi in vitro berhak mendapatkan hak-hak keperdataannya. Diluar bagaimana cara anak dilahirkan seorang anak yang dilahirkan tetap harus dilindungi dan diberikan hak-hak sebagai insan yang fitri.