Daftar Isi:
  • Salah satu hasil Munas Alim Ulama NU yang diselenggarakan pada tanggal 25 – 28 Juli 2002 tentang Masa’il Maudhu’iyah Shiyasiyah adalah dirilisnya fatwa mengenai sanksi bagi koruptor yang tertuang dalam nomor keputusan 001/Munas/2002, bahwa korupsi yang sudah dikategorikan sebagai extra ordinary crime pelakunya layak dijatuhi sanksi potong tangan sampai dengan hukuman mati sesuai dengan kualitas kejahatan korupsi yang dilakukan dan efek dari perbuatan tersebut. Langkah yang ditempuh NU patut diapresiasi sebagai bentuk upaya untuk memberikan kontribusi bagi jalan keluar dari satu masalah besar yang sangat menggurita dan sampai saat ini masih manjangkit bangsa Indonesia. Adapun tujuan penelitian adalah (1) untuk mengetahui Bagaimana sanksi bagi koruptor menurut Munas Alim Ulama NU tentang Masail Maudhu’iyah Siyasiyah pada tanggal 25-28 Juli 2002, (2) untuk mengetahui Bagaimana Istinbath hukum NU dalam Munas Alim Ulama NU tentang Masail Maudhu’iyah Siyasiyah pada tanggal 25-28 Juli 2002 untuk menentukankan sanksi bagi koruptor. Metodologi yang digunakan (1) Pendekatan yang digunakan dalam penyusunan skripsi ini adalah, Pendekatan Hermeneutika, maksudnya analisis data didekati dari upaya interpretatif terhadap sumber hukum yang menjadi obyek penelitian melalui teknik eksplorasi dokumentasi. Hasil penelitian menunjukkan Pertama, Korupsi bukanlah pencurian biasa dengan dampaknya yang bersifat personal-individual, melainkan ia merupakan bentuk kejahatan luar biasa (extra ordinary crime) dan pencurian besar dengan dampaknya yang bersifat massal-komunal. Bahkan ketika korupsi sudah merajalela dalam suatu negara sehingga negara itu nyaris bangkrut dan tak berdaya dalam menyejahterakan kehidupan rakyatnya, tidak mampu menyelamatkan mereka dari ancaman gizi buruk dan busung lapar yang mendera, maka korupsi lebih jauh dapat dianggap sebagai ancaman bagi tujuan syari’at dalam melindungi jiwa manusia (hifzh al-nafs). Kedua, Korupsi dikategorikan dalam bentuk ghulul dan suap, maka dapat disimpulkan bahwa Islam telah melarang tindakan korupsi baik berbentuk ghulul maupun suap. Walaupun tidak terdapat sanksi dalam bentuk nash qath’i mengenai hukuman bagi koruptor, bukan berarti tidak adanya sanksi bagi pelaku korupsi. Adapun pelaku yang melalukan korupsi dapat dihukum ta’zir sesuai dengan tingkat kejahatannya