Daftar Isi:
  • Penelitian dengan judul ”Analisis Hukum Islam Terhadap Praktek Pembayaran Mahar Di Desa Tahunan Kecamatan Tahunan Kabupaten Jepara” ini dilatarbelakangi oleh adanya praktek pembayaran mahar dalam perkawinan yang dipraktekkan oleh masyarakat Desa Tahunan Kecamatan Tahunan Kabupaten Jepara. Permasalahan yang dijadikan obyek kajian penelitian ini meliputi bagaimana praktek pembayaran mahar masyarakat Desa Tahunan Kecamatan Tahunan Kabupaten Jepara dan bagaimana tinjauan hukum islam terhadap praktek pembayaran mahar masyarakat Desa Tahunan Kecamatan Tahunan Kabupaten Jepara. Penelitian ini dilaksanakan dengan berdasarkan metode penelitian lapangan kualitatif dengan pengumpulan data meliputi wawancara dan dikumentasi. Sedangkan analisis data menggunakan metode deskriptif analitik. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa praktek pembayaran mahar di Desa Tahunan Kecamatan Tahunan Kabupaten Jepara dilakukan dengan memberikan barang yang belum lunas. Praktek tersebut dapat terjadi karena adanya empat sebab yakni 1) adanya permintaan dari mempelai perempuan karena kebutuhan; 2) adanya permintaan dari mempelai perempuan karena merasa iri dengan mahar yang telah diterima oleh orang lain (tetangganya); 3) adanya keinginan dari pihak mempelai laki-laki untuk menghargai keluarga mempelai; 4) mengikuti kebiasaan dari masyarakat. Praktek pemberian mahar berupa barang yang belum lunas dalam koridor hukum Islam tidak mempengaruhi sahnya perkawinan, hal ini karena mahar bukan termasuk rukun dan syarat perkawinan. Apabila disandarkan pada jenis mahar, maka pada perkawinan dengan mahar yang belum lunas di Desa Tahunan akan memunculkan dua kemungkinan jenis mahar, yakni mahar musamma apabila mahar benar-benar merupakan keinginan mempelai pria dan mahar mitsil apabila jumlah dan ketentuan mahar ditentukan oleh mempelai perempuan. Meski demikian, apabila mahar yang diberikan awalnya adalah mahar musamma, maka dengan adanya persetubuhan tanpa diiringi dengan pelunasan mahar, mahar tersebut akan berubah menjadi mahar mitsil. Ini berarti bahwa apabila barang yang belum lunas tersebut ditarik kembali oleh pemberi hutang, maka suami tidak wajib memberi ganti yang sama melainkan dengan menggunakan permisalan atau disamakan dengan saudara perempuan dari isterinya. Namun demikian, praktek tersebut tetap saja berpeluang memunculkan kemadlaratan sehingga kurang sesuai dengan kaidah hokum Islam, yakni kemadlaratan harus dihilangkan.