Daftar Isi:
  • Dalam UU No. 1 Tahun 1974 Pasal 5 Ayat 1 dan KHI Pasal 58 Ayat 1 yang mengatur tentang perkawinan, diterapkan syarat yang ketat apabila seseorang akan melakukan poligami, sejauh pengetahuan penulis dalam ketentuan fiqh klasik, tidak ada ketentuan itu. Misalnya, ketetuan pada UU No. 1 Tahun 1974 Pasal 5 Ayat 1 dan KHI Pasal 58 Ayat 1. diterangkan tentang diwajibkan adanya ijin seorang istri apabila suami hendak berpoligami. Hal itu terkesan mengada-ada jika kita melihatnya dari sudut pandang fiqh klasik. Dalam disiplin ilmu us}u>l fiqh pembahasan tentang sumber hukum Islam adalah tentangmas}lah{ahmursalah. Mas}lah{ahmursalahsecara istilah seperti dikemukakan Abdul Wahab Kallaf berarti sesuatu yang dianggapmas}lah{ahnamun tidak ada ketegasan hukum untuk merealisasikannya dan tidak ada pula dalil tertentu baik yang mendukung maupun yang menolaknya. Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah 1) Bagaimana persetujuan istri sebagai syarat ijin poligami menurut UU No. 1 Tahun 1974 Pasal 5 Ayat 1 dan KHI Pasal 58 Ayat 1 menurut perspektif maslahah mursalamas}lah{ahmursalah? 2) Bagaimana akibat dari hukum persetujuan istri sebagai syarat ijin poligami menurut UU No. 1 Tahun 1974 Pasal 5 Ayat 1 dan KHI Pasal 58 Ayat 1 tersebut? Jenis penelitian yang digunakan dalam skripsi ini yaitu penelitian dokumen (library research). Dalam penelitian dokumen ini penulis menggunakan studi kepustakaan UU No. 1 Tahun 1974 Pasal 5 Ayat 1 dan KHI Pasal 58 Ayat 1 tentang syarat ijin poligami. penelitian ini merupakan studi hukum Islam dengan pendekatan secara teoritis dan dokumenter. Dalam pendekatan teoritis diterapkan konsep ushuliyah yang merupakan teori kajian hukum Islam, sedangkan dalam pendekatan dokumenter diterapkan objek masalah terkait seperti perundang-undangan. Adapun kesimpulan dari penelitian ini adalah 1) Kemaslahatan “persetujuan istri sebagai syarat ijin poligami” dianalisis denganmaslahah mursalah, serta jumhur ulama dapat diterima sebagai hukum Islam. 2) Akibat hukum dari “persetujuan istri sebagai syarat ijin poligami”, adalah: a) Menurut hukum Islam, apabila suatu perkawinan telah memenuhi sarat dan rukun perkawinan maka perkawinan itu menjadi sah. meskipun perkawinan tersebut tidak ada akta nikah, bukan dikawinkan oleh penghulu Negara atau sarat apapun yang diatur dalam peraturan pemerintah, hukumnya tetaplah sah. b) Suatu perkawinan dianggap sah oleh Negara apabila memenuhi persaratan perkawinan dalam hukum positif. Dengan demikian, suatu perkawinan poligami yang tidak disetujui oleh isteri pertama seperti diatur dalam UU No1.Tahun 1974 pasal 5, maka perkawinan tersebut belum dapat dikatakan perbuatan hukum.Sehingga, perkawinan tersebut tidak mempunyai akibat hukum yang dapat diakui dan dilindungi oleh hukum. c) Pada pasal 4 KHI disebutkan “Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum Islam sesuai dengan pasal 2 ayat (1) Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan”. Sedangkan teks dari pasal 2 ayat (1) Undang-undang No. 1 Tahun 1974.Sehingga, perkawinan poligami yang tidak disertai dengan persetujuan isteri pertama menurut KHI menjadi tidak sah.