Daftar Isi:
  • Dalam Islam, pernikahan merupakan sunnah Rasulullah SAW. Ia bertujuan untuk melanjutkan keturunan disamping untuk menjaga manusia supaya tidak terjerumus dalam perbuatan keji yang sama sekali tidak diinginkan oleh syara’. Untuk memenuhi ketentuan tersebut, pernikahan harus dilaksanakan sesuai dengan ketentuan syari’at Islam, yaitu dengan cara yang sah. Rumusan masalah di sini adalah bagaimana pendapat Syaikh al-Imam Majduddin Abu al-Barakat tentang waktu jatuh tempo penundaan pembayaran mahar? Dan Bagaimana relevansi pemikiran Syaikh al-Imam Majduddin Abu al-Barakat tentang waktu jatuh tempo penundaan pembayaran mahar dengan konteks sekarang di Indonesia? Dalam menyusun skripsi ini menggunakan jenis penelitian kepustakaan (liberary research), pendekatanya kualitatif karena tidak menggunakan perhitungan angka-angka statistik, Hasil penelitian menunjukkan dalam Kitab Al-Muharrar fi al-fiqh karya “Syaikh al-Imam Majduddin Abu al-Barakat” berpendapat bahwa Jika seorang menikah dengan mahar yang ditunda pembayarannya dan tidak menyebutkan waktu jatuh temponya, maka sah, sedangkan yang menjadi waktu jatuh tempo adalah ketika keduanya berpisah. Menurut penulis mahar itu akan diberikan secara kontan atau hutang baik seluruhnya maupun sebagian tergantung kepada kesepakatan kedua belah pihak. Hasil penelitian menunjukkan dalam Kitab Al-Muharrar Fi al-Fiqh karya “Syaikh al-Imam Majduddin Abu al-Barakat” berpendapat bahwa Jika seorang menikah dengan mahar yang ditunda pembayaranya dan tidak menyebutkan waktu jatuh temponya, maka sah, sedangkan yang menjadi waktu jatuh tempo adalah ketika keduanya berpisah. Menurut penulis mahar itu akan diberikan secara kontan atau hutang baik seluruhnya maupun sebagian tergantung kepada kesepakatan kedua belah pihak. Lebih lanjut tentang waktu jatuh tempo penundaan pembayaran mahar tersebut, kenyataan yang terjadi dalam masyarakat berbeda dengan pendapat para fuqaha’. Hal ini di indikasi menjadi dua pendapat. Pendapat yang pertama penikahan sah apabila waktu jatuh tempo penundaan mahar yang pembayaranya sampai terjadinya perpisahan. Sedangkan pendapat yang kedua, di wajibkan pemberian mahar sebelum dukhul. Pada pendapat yang pertama itu di ikuti oleh Syaikh al-Imam Majduddin Abu al-Barakat, sedangkan pendapat yang kedua banyak diikuti oleh masyarakat Indonesia. Perbedaan pendapat diantara Syaikh al-Imam Majduddin Abu al-Barakat dengan praktek mayoritas penduduk di Indonesia yang dominan menggunakan konsep al ’adatul Muhakammah (adat dipertimbangkan dalam menetapkan hukum) sebagai faktor perubahan hukum menjadikan hukum bersifat fleksibel dan dapat beradaptasi dengan perubahan sosial. Sebagaimana terdapat dalam praktek masyarakat Indonesia tidak mempersoalkan tentang penundaan pembayaran mahar