Analisis hukum Islam dan positif terhadap penembakan yang dilakukan oleh polisi terhadap pelaku pencurian disertai kekerasan (begal)

Main Author: Pamungkas, Trio Putra
Format: Thesis NonPeerReviewed Book
Bahasa: ind
Terbitan: , 2020
Subjects:
Online Access: https://eprints.walisongo.ac.id/id/eprint/14602/1/Skripsi_132211055_Trio%20Putra%20Pamungkas.pdf
https://eprints.walisongo.ac.id/id/eprint/14602/
Daftar Isi:
  • Fenomena polisi dalam melakukan tindakan penangkpan dan melakukan instruksi tembak ditempat adalah sebuah tindakan yang masih menjadi pro dan kontra di masyarakat dan para ahli hukum. Setiap melakukan tindakan, aparat kepolisian mempunyai kewenangan bertindak menurut penilaiannya sendiri dan hal inilah yang terkadang disalah gunakan oleh aparat Kepolisian. Kewenangan ini tertulis di dalam Pasal 18 ayat (1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia. Dalam implementasinya Polisi melakukan tindakan tembak ditempat terhadap tersangka maka pada dasarnya pemberlakuan tembak ditempat terhadap tersangka bersifat situasional, Kepolisian memberlakukan prinsip atau asas diskresi. Permasalahan yang muncul adalah bagaimana pandangan hukum positif dan hukum Islam terhadap penembakan yang dilakukan oleh polisi terhadap pelaku pencurian disertai kekerasan (begal) Metode penelitian ini menggunakan penelitian yuridis normatif dan penelitian kepustakaan (library research). Data primer yaitu Undang–Undang No 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Data sekunder diperoleh dari buku-buku bacaan dan literatur-literatur lain dengan metode analisa diskriptif, konten analisis serta komparatif Hasil pembahasan menunjukkan bahwa penembakan terhadap pelaku yang diduga melakukan tindak pidana tidak dapat dibenarkan, karena bertentangan dengan Pasal 3c Peraturan Kapolri Nomor 1 Tahun 2009, mengenai asas proporsionalitas, yang berarti bahwa penggunaan kekuatan harus dilaksanakan secara seimbang antara ancaman yang dihadapi dan tingkat kekuatan atau respon anggota Polri, sehingga tidak menimbulkan kerugian/korban/penderitaan yang berlebihan. Asas praduga tidak bersalah (presumption of innocence) disebut dalam Pasal 8 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman dan juga dalam penjelasan umum butir 3c KUHAP bahwa setia orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut, dan/atau dihadapkan di muka sidang pengadilan wajib dianggap tidak bersalah sampai adanya putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan memperoleh kekuatan hukum tetap. Urgensi maslahah dan mafsadah menjadi yang utama dalam menentukan suatu hukum, termasuk mengetahui pertimbangan batasan kemudharatan. Merupakan suatu hal yang mengancam eksistensi manusia, yang terkait dengan maqâsid al-syari’ah, yaitu memelihara agama, memelihara jiwa, memelihara akal, memelihara keturunan dan memelihara harta benda. Dengan demikian darurat itu terkait dengan dharûriyyat, bukan hâjiyat dan tahsîniyyat, maka dalam pandangan hukum Islam diperbolehkan.