Daftar Isi:
  • Dijelaskan dalam Pasal 28 ayat (1) dan (2) Undang-Undang No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan, akibat hukum dari pembatalan perkawinan ada dua yaitu berlaku surut dan tidak berlaku surut,. Yang berlaku surut ialah terhadap waktu dimulainya pembatalan perkawinan yakni setelah keputusan pengadilan mempunyai kekuatan hukum yang tetap. Dan keputusan tidak berlaku surut terhadap, anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut, suami atau isteri yang bertindak dengan iktikad baik, kecuali terhadap harta bersama bila pembatalan perkawinan didasarkan atas adanya perkawinan lain yang terdahulu, orang-orang ketiga lainnya sepanjang mereka memperoleh hak-hak dengan iktikad baik sebelum keputusan tentang pembatalan mempunyai kekuatan hukum tetap. Namun dalam permasalahan yang penulis teliti dari akibat hukum pembatalan perkawinan tersebut tidak ada kejelasan tentang status harta bersama dalam pembatalan perkawinan apakah diberlakukan surut atau tidak. Adapun tujuan penelitian adalah, pertama, untuk mengetahui status harta bersama sebagai akibat hukum dari pembatalan perkawinan menurut hukum perkawinan di Indonesia. Kedua untuk mengetahui status harta bersama sebagai akibat hukum dari pembatalan perkawinan menurut fikih munakahat. Penelitian dalam skripsi ini adalah penelitian pustaka ( Library Reseacrh). Pendekatan yang digunakan dalam skripsi ini adalah pendekatan kualitatif. Sebagai sumber data dalam objek penelitian ini adalah hukum perkawinan di Indonesia, fikih munakahat dan wawancara dengan ahli hukum dan advokad LKBHI IAIN Walisongo Semarang. Teknik analisis yang digunakan adalah analisis komparatif. Hasil penelitian menunjukkan. Pertama, status harta bersama dalam pembatalan perkawinan menurut hukum perkawinan di Indonesia yaitu, harta bersama itu tetap ada sebagai akibat hukum dari pembatalan perkawinan seperti halnya perkawinan yang putus karena perceraian yaitu diatur dalam undang-undang perkawinan No. 1 Tahun 1974 pasal 37 dan penyelesaiannya diatur dalam kompilasi hukum Islam pasal 97. Kedua, status harta bersama dalam fikih munakahat yaitu, harta bersama dalam perkawinan tetap ada, dan diwujudkan melalui tiga hal yakni,pertama, akad nikah yang merupakan mitsaqan ghalidza, sebuah ikatan yang kokoh,kedua, syirkah yakni bercampurnya salah satu dari dua harta dengan harta lainnya, tanpa dapat dibedakan antara keduanya dan ketiga, ‘urf yakni kebiasaan dalam sebuah masyarkat baik berupa perbuatan maupun perkataan. Dan status harta bersama tersebut menjadi akibat hukum dari perkawinan yang dibatalkan yang berarti tidak diberlakukan surut.