Daftar Isi:
  • Lahirnya Undang-undang Wakaf No 41 Tahun 2004, pengelolaan dan pengembangan wakaf memperoleh dasar hukum yang lebih kuat serta dapat menampung perkembangan perwakafan di Tanah Air. Wakaf adalah salah satu bentuk sumbangsih terhadap masyarakat yang mempunyai dampak sosial yang turut membatu bagi masyarakat. Mengingat bahwa bentuk harta wakaf yang diwakafkan tidak hanya berupa benda tidak bergerak, namun di masyarakat juga banyak yang mewakafkan hartanya dalam bentuk benda bergerak, Dari beberapa jenis benda tersebut dengan sejalannya waktu dapat mengalami kerusakan dan berubahnya fisik tersebut, tentunya menjadi tanggung jawab nadzir selaku pengelola wakaf untuk menjaga kelangsungan nilai manfaat dari pada benda wakaf. Berpijak dari pembahasan judul tersebut, maka dapat ditarik pokok permasalahan yang akan menjadi fokus utama, adalah a. Bagaimana perubahan status harta benda wakaf menurut UU No 41/2004 Pasal 40? Dan . Bagaimana Perubahan Harta Benda Wakaf menurut pendapat Ulma Fiqh? Penelitian ini adalah penelitian kepustakaan (library research), dengan menggunakan metode deskriptif analisis dan metode komparatif yaitu mendiskripsikan dan membandingkan data yang telah diperoleh. Hasil penelitian ini adalah bahwa Harta benda wakaf berdasarkan Pasal 40 Undang-undang No 41 Tahun 2004 suatu harta benda yang telah diwakafkan dilarang: a) dijadikan jaminan, b) disita, c) dihibahkan, d) dijual, e) diwariskan, f) ditukar, atau g) dialihkan dalam bentuk pengalihan hak lainnya. Pada ulama’ madzhab Syafi’i dan Maliki berpendapat bahwa harta benda wakaf yang sudah tidak berfungsi lagi tetap tidak boleh dijual, ditukar, diganti dan dipindahkan, namun dilain pihak, bahwa benda wakaf yang sudah atau kurang berfungsi lagi dimana sudah tidak sesuai lagi dengan peruntukannya maka seperti madzhab, Hanafi, Hanbali, Abu Tsaur dan Ibnu Taimiyah berpendapat tentang bolehnya menjual, mengubah, mengganti atau memindahkan benda wakaf tersebut bisa berfungsi atau mendatangkan maslahat sesuai dengan tujuan wakaf, atau untuk mendapatkan maslahat yang lebih besar bagi kepentingan umum, khususnya kaum muslimin. Namun penyimpangan dari ketentuan pasal 40 huruf (f) Undang-undang No 41 Tahun 2004, hanya dapat dilakukan apabila untuk kepentingan umum sesuai dengan Rencana Umum Tata Ruang (RUTR) berdasarkan ketentuan perundang-undangan yang berlaku dan tidak bertentangan dengan syari'ah. Perubahan sebagaimana dimaksud hanya dapat dilakukan dengan persyaratan adanya ganti rugi sekurang-kurangnya sama dengan nilai harta benda wakaf semula, dan setelah mendapat izin tertulis dari Menteri Agama serta persetujuan dari Badan Wakaf Indonesia.