Daftar Isi:
  • Tujuan disyariatkanya perkawinan dalam Islam adalah untuk membina keluarga yang sakinah, mawaddah dan rahmah. Namun dalam kenyataanya dalam perjalanan rumah tangga sering terjadi peselisihan yang pada akhirnya menimbulkan perceraian. Perceraian dinilai menjadi solusi terakhir dalam menyelesaikan ketidakcocokan antara suami istri. Akan tetapi setelah terjadi perceraian permasalan selanjutnya yang sering muncul adalah sengketa antara suami dan istri baik mengenai harta gono-gini maupun pengasuhan anak. Anak merupakan anugerah Tuhan yang harus dijaga dan dirawat oleh orang tuanya hingga ia dewasa dan mampu berdiri sendiri. Hal tersebut merupakan tanggung jawab orang tua meskipun mereka telah bercerai. Konvensi CEDAW yang telah diratifikasi dengan UU No. 7 Tahun 1984 tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan, dalam Pasal 16-nya memberikan jaminan dalam masalah pengasuhan anak dengan persamaan hak dan tanggung jawab antara laki-laki dan perempuan dalam semua hal, yang didasarkan pada kepentingan anak . Salah satu hal yang termasuk di dalamnya adalah status anak yang lahir tanpa ada status perkawinan antara kedua orang tuanya (anak tidak sah). Adapun tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui konsep pengasuhan anak dalam CEDAW dan untuk mengetahui pandangan hukum Islam terhadap konsep pengasuhan anak dalam CEDAW. Metodologi yang digunakan dalam penelitian ini adalah diskriptif analitik dengan metode analisa Content analisis. Jadi, penyusun menganalisis sumberdata primer (draft konvensi CEDAW) untuk kemudian mendiskripsikan suatu konsep pengasuhan anak dalam CEDAW dan selanjutnya di analisis dari sudut pandang hukum Islam. Hasil penelitian bahwa tanggung jawab orang tua dalam pengasuhan anak dalam CEDAW tidak memandang status sah atau tidaknya seorang anak, status perkawinan mereka (masih atau sudah bercerai) dan dikotomi peran pengasuhan (pemenuhan kebutuhan materiil dan non materiil) terhadap anak. Dalam pandangan hukum Islam, pemenuhan kebutuhan materiil adalah tanggung jawab suami sebagai kepala keluarga. Hal ini tetap berlaku meskipun setelah terjadi perceraian sampai batas anak dewasa dan mampu berdiri sendiri. Mengenai konsep pemeliharaan anak setelah terjadi perceraian dalam CEDAW tidak diatur secara rinci seperti halnya dalam hukum Islam, karena CEDAW bukan merupakan undang-undang perkawinan, melainkan undang-undang penghapusan diskriminasi antara laki-laki dan perempuan. Dalam hukum Islam, hak pengasuhan anak yang belum mumayyiz adalah hak ibunya, selama memenuhi kriteria dan persyaratan sebagai hadlinah. Adapun yang sudah mumayyiz boleh memilih antara ayah dan ibunya. Sedangkan mengenai status sah atau tidaknya anak, dalam hukum Islam, tetap dibedakan menurut status perkawinan orang tuanya. Artinya, Jika orang tuanya telah kawin sesuai syarat dan rukun yang sah dalam Islam, maka anaknya dianggap sah dan mempunyai implikasi hukum dan nasab kepada kedua orang tuanya. Hal ini didasarkan pada maqosid al-syariah yang bersifat dharuri (pokok).