Tafsir Q.S. Al-Baqarah ayat 62 tentang pluralisme agama menurut perspektif Sayyid Muhammad Hussain Thabathaba’i

Main Author: Nisa, Sovwatun
Format: Thesis NonPeerReviewed Book
Bahasa: ind
Terbitan: , 2019
Subjects:
Online Access: https://eprints.walisongo.ac.id/id/eprint/12206/1/skripsi_1404026001_sovwatun_nisa.pdf
https://eprints.walisongo.ac.id/id/eprint/12206/
Daftar Isi:
  • Al-Qur’an dengan keotentikannya yang tidak pernah usai pembahasan dan pemahamannya, faktor lain yang melatar belakangi para cendekiawan dan tokoh muslim mapun non muslim tidak henti-hentinya mengupas tentang kebenaran dan kedalam keilmuan yang terkandung didalamnya adalah karena al-Qur’an itu sendiri sebagai pedoman bagi setiap muslim. Sehingga, setiap hal yang berkaitan dengan al-Qur’an akan selalu menjadi pembahasan yang menarik, tak terkecuali QS. al-Baqarah ayat 62, ayat tersebut seringkali dikaitkan dengan permasalah pluralisme agama, ayat ini jelas sudah lama ada, ketika diwahyukan kepada baginda Nabi Muhammad SAW, namun pembahasan pluralisme yang muncul pada paruh abad ini dan disebarluaskan oleh kalangan pemikir Kristen ini seakan-akan menegaskan bahwa ayat ini adalah ayat tentang pluralism agama. Dalam pembahasan QS. Al-Baqarah ayat 62 dan pluralisme agama penulis lebih mengarah pada penafsiran Sayyid Muhammad Hussain Thabathaba’i dalam tafsirnya al-Mizan. Beliau adalah salah satu tokoh syi’ah yang pemikirannya banyak dianut kalangan cendekiawan meskipun mereka bukan dari golongan syi’ah. Beliau memaknai QS. Al Baqarah ayat 62 bahwa Allah tidak memandang penting nama, seperti orang-orang Kristiani atau orang-orang shabii. Manusia tidak dapat memperoleh pahala dari Allah, dan juga dia tidak dapat diselamatkan dari hukuman, semata-mata karena memberikan kepada diri sendiri sebutan-sebutan yang bagus, dapat diartikan bahwa pendapat beliau ini mengarah kepada pluralisme agama, yang mana pluralisme ini membebaskan seseorang memilih jalannya atau agamanya sesuai keinginannya, tetapi tujuannya hanya satu ketika ia beriman kepada Allah dan beramal sholih. Berdasarkan penelitian yang sudah dilakukan penulis cenderung kepada pendapat lain tentang pemaknaan ayat ini, bisa ditarik kesimpulan dengan pemaknaan beliau seperti diatas, maka Nasrani dan Shabi’i hanyalah sebuah nama dan membedakan antara iman dan agama yang dianut seseorang, dengan begitu bisa diambil kesimpulan bahwa orang yang beriman tidak harus beragama Islam, sehingga penafsiran beliau ini mengarah kepada pluralisme agama, yang notabenenya dilandasi pada pembenaran semua agama dan menyatakan yang dituju itu satu yakni Tuhan alam semesta.