Persepsi ulama Karanggede tentang praktek penukaran emas di toko emas pasar Karanggede Kecamatan Karanggede Kabupaten Boyolali

Main Author: Mudrikah, Mudrikah
Format: Thesis NonPeerReviewed Book
Bahasa: eng
Terbitan: , 2007
Subjects:
Online Access: https://eprints.walisongo.ac.id/id/eprint/11990/1/2102185_Mudrikah.pdf
https://eprints.walisongo.ac.id/id/eprint/11990/
Daftar Isi:
  • ABSTRAK Salah satu bentuk muamalah ada yang disebut dengan pertukaran. Pertukaran berarti menyerahkan suatu komoditi untuk ditukar dengan komoditi yang lain, atau penyerahan satu barang untuk mendapatkan barang lain, disebut dengan tukar menukar. Penukaran dalam hukum Islam disebut dengan al-Sharf. Al-Sharf adalah jual beli antara barang dengan barang (emas dengan emas), dimana salah satu orang yang melakukan transaksi memberikan pembayaran dengan pelebihan. Dalam hal ini di toko emas pasar Karanggede Kec. Karanggede ada sebuah praktek penukaran emas dengan emas, dimana pembeli yang ingin menukarkan emas yang lama dengan emas yang baru dengan tanpa menjualnya terlebih dahulu, bahkan banyak terjadi penambahan timbangan. Padahal dalam hadits Nabi telah dijelaskan bahwa menjual emas dengan emas itu tidak boleh, kecuali harus sama kualitas dan kuantitasnya atau harus seimbang dan tunai. Dari sebagian pendapat ulama di Karanggede dalam menanggapi praktek penukaran emas dengan emas dapat disimpulkan bahwa praktek penukaran emas yang dilakukan selama ini belum sesuai dengan hukum Islam, jika berbeda timbangannya. Walau para ulama telah sepakat bahwa praktek penukaran emas dengan emas tidak boleh, namun pendapat tersebut tidak pernah dipublikasikan pada masyarakat, sehingga masyarakat kurang begitu tahu bagaimana praktek penukaran emas yang baik yang sesuai dengan hukum Islam, hal ini juga disebabkan karena praktek penukaran emas ini sudah ada sejak dulu dan sudah menjadi adat atau kebiasaan dari masyarakat. Sehingga mereka menganggap bahwa praktek penukaran emas ini adalah hal yang wajar yang tidak ada permasalahan hukumnya, padahal adat atau kebiasaan itu sendiri tidak selamanya dapat dijadikan landasan hukum.