Analisis penunjukan hakam dalam putusan sela Pengadilan Agama Semarang studi kasus putusan perkara nomor 1191/Pdt.G/2006/PA.Sm

Main Author: Sriyani, Sriyani
Format: Thesis NonPeerReviewed Book
Bahasa: eng
Terbitan: , 2008
Subjects:
Online Access: https://eprints.walisongo.ac.id/id/eprint/11755/1/2103183_SRIYANI.pdf
https://eprints.walisongo.ac.id/id/eprint/11755/
Daftar Isi:
  • Hakam merupakan salah satu elemen penting dalam proses penyelesaian masalah perceraian dengan sebab syiqoq. Syarat dari hakam itu sendiri cakap, jujur, berwibawa, arif, dapat dipercaya dan disegani oleh pihak yang berperkara. Selain itu, hakam tidak boleh memihak salah satu pihak. Sedangkan fenomena yang terjadi di Pengadilan Agama Semarang, tepatnya pada putusan sela perkara Nomor 1191/Pdt.G/2006/PA. Sm menggambarkan bahwa orang yang diajukan menjadi hakam oleh pihak penggugat yakni ayah kandungnya, adalah orang yang memiliki rasa “tidak suka” kepada menantunya. Adanya rasa tidak suka tersebut, tentu akan melahirkan usaha perdamaian yang tidak obyektif, sehingga tidak akan berhasil secara maksimal dalam usaha mendamaikan dan bahkan dapat berbalik menjadi sosok yang mendukung adanya perceraian. Penelitian ini merupakan penelitian lapangan. Untuk menganalisis data yang sudah didapat, penulis menggunakan metode diskriptif kualitatif, yakni suatu analisa penelitian yang dimaksudkan untuk mendiskripsikan suatu situasi tertentu yang bersifat faktual secara sitematis dan akurat. Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan legal formil yakni, analisis tersebut akan penulis lakukan dengan membuat perbandingan antara data lapangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia khususnya mengenai hukum formil beracara di Pengadilan Agama. Hasil penelitian ini adalah dasar pertimbangan Majelis Hakim dalam penunjukan hakam dalam putusan sela perkara Nomor 1191/Pdt.G/2006/PA. Sm bahwa Majelis Hakim kurang maksimal dalam mempergunakan dasar pertimbangan hukum berkaitan dengan penunjukan dan pengangkatan hakam, khususnya mengenai kelayakan pihak yang diangkat menjadi hakam. Secara hukum formil proses penunjukan dan pengangkatan hakam oleh Majelis Hakim dalam putusan sela perkara Nomor 1191/Pdt.G/2006/PA. Sm belum sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Hal tersebut terlihat dari ketiadaan proses pemeriksaan pada calon hakam oleh Majelis Hakim serta tidak dituliskannya dasar pertimbangan hokum dalam putusan sela yang dibuat Majelis Hakim untuk mengangkat hakam. Berdasarkan adanya ketidak sesuaian peraturan perundang-undangan, maka secara otomatis putusan sela Nomor 1191/Pdt.G/2006/PA. Sm cacat dan batal demi hukum.