Studi analisis pendapat Imam Syafi’i tentang saksi wanita dalam kasus masa iddah wanita hamil yang keguguran
Main Author: | Mafisyah, Septi Syayidah |
---|---|
Format: | Thesis NonPeerReviewed Book |
Bahasa: | eng |
Terbitan: |
, 2008
|
Subjects: | |
Online Access: |
https://eprints.walisongo.ac.id/id/eprint/11748/1/2103154_SEPTI_SYAYIDAH_MAFISYAH.pdf https://eprints.walisongo.ac.id/id/eprint/11748/ |
Daftar Isi:
- Dalam perceraian ada suatu kewajiban yang harus dijalani oleh wanita (istri), yakni iddah. Iddah adalah masa tunggu bagi seorang wanita untuk melakukan perkawinan setelah terjadinya perceraian dengan suaminya baik cerai mati ataupun cerai hidup. Namun dalam persoalan saksi wanita dalam kasus masa iddah wanita hamil yang keguguran, terjadi perbedaan pendapat. Imam Syafi’i mengharuskan adanya saksi wanita dalam kasus masa iddah wanita hamil yang keguguran. Adapun judul skripsi yang penulis angkat adalah Studi Analisis Pendapat Imam Syafi’i tentang Saksi Wanita dalam Kasus Masa Iddah Wanita Hamil yang Keguguran, yang terdapat dalam kitab “al-Umm” karya Imam Syafi’i. Adapun pokok permasalahan dalam penelitian ini adalah: (1) Bagaimana Pendapat Imam Syafi’i tentang Saksi Wanita dalam Kasus Masa Iddah Wanita Hamil yang Keguguran dan Relevansinya dengan Regulasi di Indonesia? (2) Bagaimana Metode Istinbath Hukum Imam Syafi’i tentang Saksi Wanita dalam Kasus Masa Iddah Wanita Hamil yang Keguguran? Penelitian ini termasuk penelitian kepustakaan (library research) yang menggunakan metode pengumpulan data berupa data primer (merupakan data yang diperoleh dari sumber asli yang memuat suatu informasi) dan data sekunder yaitu data yang diperoleh dari data yang memuat tentang informasi dari permasalahan tersebut, juga menggunakan metode dokumentasi dalam memperoleh data. Setelah data terkumpul, maka penulis berusaha menjelaskan semua objek permasalahan dengan sistematis serta memberikan analisis secara cermat dan tepat terhadap objek kajian tersebut. Hasil penelitian menunjukkan bahwa menurut Imam Syafi’i dalam kitab al-Umm, bahwa waktu iddah wanita hamil yang keguguran dan iddah wanita hamil yang tidak keguguran bertujuan sama yakni sampai melahirkan anaknya (rahimnya bersih). Tapi bilamana terjadi keraguan atas keguguran tersebut maka dibutuhkan sumpah dari suami atau bila wanita tersebut tidak mau bersumpah atas kegugurannya tersebut maka hadirkanlah empat saksi wanita yang merdeka, adil dan muslimat. Kemudian istinbath hukum yang digunaka Imam Syafi’i dalam pendapatnya adalah didasarkan pada qiyas yaitu menghadirkan saksi wanita dalam kasus iddah wanita yang hamil keguguran ini dengan menghadirkan saksi wanita dalam bermuamalah . Namun penulis kurang setuju dengan pendapat Imam Syafi’i, apabila ia mengharuskan saksi wanita dalam kasus iddah karena keguguran ini, menurut penulis hal ini justru mendatangkan masaqat (kesulitan), dan jauh dari nilai maslahat. Akan tetapi menurut penulis, adanya saksi diarahkan untuk mengetahui kondisi bersihnya rahim wanita tersebut, maka ia haruslah ahli dibidangnya, baik perempuan maupun laki-laki sama saja, yang terpenting mempunyai keahlian tersebut.