Studi analisis pendapat Imam Syafi’i tentang anak menjadi wali nikah ibunya
Main Author: | Adib, Ahmad |
---|---|
Format: | Thesis NonPeerReviewed Book |
Bahasa: | eng |
Terbitan: |
, 2008
|
Subjects: | |
Online Access: |
https://eprints.walisongo.ac.id/id/eprint/11702/1/2102039_AHMAD_ADIB.pdf https://eprints.walisongo.ac.id/id/eprint/11702/ |
Daftar Isi:
- Wali merupan salah satu rukun yang harus di penuhi dalam perkawinan.karena tanpa wali maka nikahnya tidak sah. Wali itu rukun untuk seorang gadis untuk janda tidak. Wali itu terdiri dari tiga golongan yaitu kali al Qorobah, wali hakim dan wali muhakkam. Hadis Rasulullah tidak menyaratkan wali bagi janda akan tetapi menurut Sayid Sabik untuk kemurahannya seyogyanya seorang janda menunjuk seorang untuk menjadi walinya Hal yang menimbulkan permasalahan adalah bilamana terjadi pernikahan seorang janda menggunakan wali, jika menggunakan wali lalu siapa yang berhak menjadi walinya apakah anak termasuk wali bagi ibunya atau tidak. Imam Syafi’i menyatakan bahwa tidak ada hak perwalian bagi seorang anak terhadap ibunya karena imam Syafi’i menganggap wali itu berdasarkan ashobah dalam kewarisan sedangkan imam Syafi’i tidak memasukan anak menjadi ashobah terhadap ibunya jika dia sendirian. Itu menimbulkan permasalahan karena imam Malik, menyatakan bahwa anak itu mempunyai hak ashobah terhadap ibunya dan bisa menjadi wali bagi ibunya. Adapun permasalahan yang dibahas dalam skripsi ini meliputi, pertama, bagaimana pendapat Imam Syafi’i tentang seorang anak menjadi wali nikah terhadap ibunya?, dan kedua, bagaimana metode istimbath hukum yang digunakan oleh Imam Syafi’i?. Skripsi ini merupakan jenis penelitian kepustakaan (library research) dengan menggunakan bahan-bahan tertulis, seperti: buku, kitab, artikel dan lain-lain. Sumber data penelitian ini terdiri dari data primer dan sekunder. Data primer adalah data yang berasal dari kitab “al-Umm” karya Imam Syafi’i. Sedangkan data sekunder merupakan sumber data yang mendukung dan melengkapi sumber-sumber data primer. Analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode analisis deskriptif. Imam Syafi’i berpendapat seperti diatas karena menggangap bahwa hak kewarisan itu datangnya dari jalur ayah bukan jalur ibu maka dia pun tidak mempunyai hak untuk menjadi wali untuk menikahkan ibunya. Penulis kurang sepakat dengan pendapat imam Syafi’i karena imam Syafi’i menggangap bahwa anak itu tidak ada hubungan ashobah dengan ibunya padahal dalam ilmu waris yang berhak mendapatkan ashobah yaitu anak, imam Syafi’i menggunakan ilmu waris dalam menentukan urutan wali. Istimbat yang di gunakan beliau masih lemah sedangkan istinbat yang digunakan imam yang lain ini (Malik, Abu Hanifah) bersumber dari hadits Rasulullah dari Umu Salamah.